Studi: Bayi yang Terpapar Televisi Bisa Punya Gangguan Ini

ADVERTISEMENT

Studi: Bayi yang Terpapar Televisi Bisa Punya Gangguan Ini

Nikita Rosa - detikEdu
Kamis, 18 Jan 2024 11:30 WIB
Ilustrasi Bayi Menonton TV
Ilustrasi Bayi Menonton TV. (Foto: iStockphoto)
Jakarta -

Bayi dan balita yang terpapar televisi atau menonton video cenderung menunjukkan perilaku sensorik yang tidak lazim. Seperti apa?

Data dari para peneliti di Drexel's College of Medicine yang diterbitkan 8 Januari 2024 di jurnal JAMA Pediatrics, menunjukkan adanya perilaku tidak terlibat dan tidak tertarik pada aktivitas, mencari rangsangan yang lebih intens di suatu lingkungan, atau kewalahan oleh sensasi seperti suara keras atau cahaya terang pada bayi dan balita tersebut.

Menurut para peneliti, anak-anak yang lebih banyak menonton TV pada ulang tahun kedua mereka lebih cenderung mengembangkan perilaku pemrosesan sensorik yang tidak lazim, seperti mencari sensasi, menghindari sensasi, serta kurang sensitif atau lebih lambat merespons rangsangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keterampilan pemrosesan sensorik mencerminkan kemampuan tubuh untuk merespons secara efisien dan tepat terhadap informasi dan rangsangan yang diterima oleh sistem sensoriknya, seperti apa yang didengar, dilihat, disentuh, dan dirasa oleh balita.

Tim tersebut mengambil data tahun 2011-2014 mengenai jumlah tontonan televisi atau DVD oleh bayi dan balita pada usia 12-18 dan 24 bulan dari National Children's Study yang melibatkan 1.471 anak (50% laki-laki) secara nasional. Hasil pemrosesan sensorik dinilai pada usia 33 bulan menggunakan Profil Sensorik Bayi/Balita atau ITSP, sebuah kuesioner yang diisi oleh orang tua/pengasuh, yang dirancang untuk memberikan wawasan tentang bagaimana anak memproses apa yang mereka lihat, dengar dan cium, dll.

ADVERTISEMENT

Subskala ITSP memeriksa pola registrasi rendah pada anak, pencarian sensasi, seperti menyentuh atau mencium objek secara berlebihan, dan penghindaran sensasi. Anak-anak mendapat skor dalam kelompok tipikal, tinggi, atau rendah berdasarkan seberapa sering mereka menampilkan berbagai perilaku yang berhubungan dengan sensorik. Skor dianggap tipikal jika berada dalam satu standar deviasi dari rata-rata norma ITSP.

Bagaimana Hasilnya?

  • Pada usia 12 bulan
    Setiap paparan layar dibandingkan dengan tidak melihat layar dikaitkan dengan kemungkinan 105% lebih besar untuk menunjukkan perilaku sensorik tinggi dibandingkan perilaku sensorik khas terkait dengan registrasi rendah pada bulan ke-33.
  • Pada usia 18 bulan
    Setiap tambahan jam waktu layar harian dikaitkan dengan 23% peningkatan kemungkinan menunjukkan perilaku sensorik tinggi terkait dengan penghindaran sensasi di kemudian hari dan rendahnya registrasi.
  • Pada usia 24 bulan
    Setiap tambahan jam waktu layar harian dikaitkan dengan peningkatan 20% kemungkinan pencarian sensasi tinggi, sensitivitas sensorik, dan penghindaran sensasi pada usia 33 bulan.

Para peneliti menyesuaikan dengan usia, apakah anak lahir prematur, pendidikan pengasuh, ras/etnis dan faktor lainnya, seperti seberapa sering anak bermain atau berjalan bersama pengasuhnya.

Berkaitan dengan ADHD dan Autisme

Temuan ini menambah daftar hasil kesehatan dan perkembangan yang terkait dengan waktu menatap layar pada bayi dan balita, termasuk keterlambatan bahasa, gangguan spektrum autisme, masalah perilaku, kesulitan tidur, masalah perhatian, dan keterlambatan penyelesaian masalah.

"Hubungan ini dapat memiliki implikasi penting terhadap gangguan pemusatan perhatian (ADHD) dan autisme, karena proses sensorik atipikal jauh lebih umum terjadi pada populasi ini," kata penulis utama Karen Heffler, MD, seorang profesor Psikiatri di Drexel's College of Medicine dalam Science Daily.

"Perilaku berulang, seperti yang terlihat pada gangguan spektrum autisme, sangat berkorelasi dengan pemrosesan sensorik yang tidak lazim," lanjutnya.

Pemrosesan sensorik yang tidak lazim pada anak-anak dengan gangguan spektrum autisme (ASD) dan ADHD muncul dalam berbagai perilaku. Pada anak-anak dengan ASD, pencarian sensasi yang lebih besar atau penghindaran sensasi, peningkatan sensitivitas sensorik dan registrasi yang rendah telah dikaitkan dengan sifat mudah tersinggung, hiperaktif, kesulitan makan dan tidur, serta masalah sosial.

Kemudian pada anak-anak dengan ADHD, proses sensorik yang tidak lazim dikaitkan dengan masalah fungsi eksekutif, kecemasan, dan kualitas hidup yang lebih rendah.

"Mempertimbangkan hubungan antara tingginya waktu menatap layar dan semakin banyaknya masalah perkembangan dan perilaku, mungkin bermanfaat bagi balita yang menunjukkan gejala-gejala ini untuk menjalani periode pengurangan waktu menatap layar, bersamaan dengan praktik pemrosesan sensorik yang disampaikan oleh terapis okupasi," kata Heffler.

American Academy of Pediatrics (AAP) telah melarang screen time untuk bayi di bawah 18-24 bulan. Obrolan video langsung dianggap oleh AAP baik-baik saja karena bermanfaat dari interaksi yang terjadi. AAP juga menyarankan pembatasan waktu penggunaan media digital untuk anak usia 2 hingga 5 tahun menjadi tidak lebih dari 1 jam per hari.




(nir/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads