Make up atau tata rias serasa tak pernah lepas dari keseharian manusia. Baik pentas, sekadar bepergian, bahkan sebelum masehi, manusia memoles dirinya dengan make up.
Tapi, mengapa manusia memakai make up? Apa yang membuat perlengkapan tata rias ini lekat dengan peradaban manusia?
Menurut Ensiklopedia Britannica, untuk memahami asal usul make up kita harus kembali ke masa sekitar 6.000 tahun lalu. Pengenalan manusia akan make up terkuak pada peradaban Mesir kuno.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, make up berfungsi sebagai penanda kekayaan yang diyakini menarik perhatian para dewa. Karakteristik eyeliner yang rumit dalam seni Mesir muncul pada laki-laki dan perempuan sejak 4000 SM. Kohl, pemerah pipi, bedak putih untuk mencerahkan warna kulit, dan eyeshadow perunggu, sedang populer digunakan.
Menurut National Geographic, Cleopatra dan pengikutnya memakai pewarna pada kelopak mata mereka. Tak hanya mengundang pujian, riasan berwarna hitam dan hijau ini digunakan untuk melindungi mata dari infeksi.
Mereka percaya jika riasan mata akan membuat mereka dilindungi oleh Dewa Horus dan Ra. Dalam penelitian, ilmuwan menemukan jika riasan tersebut mengandung komponen yang bisa melindungi mata mereka.
Masyarakat yang Tak Suka dengan Make Up
Tetapi, ada pula masyarakat yang tak suka dengan make up. Kalangan masyarakat Romawi kuno menganggap produk riasan sebagai tanda tidak tahu malu.
Merendahkan pengguna make up adalah tema umum dalam puisi dan drama komik Romawi. Peringatan terhadap make up muncul dalam tulisan pribadi para dokter dan filsuf Romawi. Penyair elegi Sextus Propertius, menulis:
"Penampilan yang dianugerahkan alam kepada mereka selalu menjadi yang terbaik."
Kemudian filsuf Seneca the Younger, dalam suratnya kepada ibunya, memuji fakta bahwa ibunya 'tidak pernah mengotori wajahnya dengan cat atau kosmetik'.
Kendati demikian, masyarakat Romawi kuno mendorong produk kebersihan seperti sabun mandi, deodoran, dan pelembab digunakan untuk meningkatkan penampilan alami mereka dengan menghilangkan bulu tubuh.
Pola menerima dan menolak riasan berlanjut di dunia Barat. Era Renaissance mencakup segala bentuk kecantikan fisik, yang ingin dicapai orang terutama melalui pewarna rambut dan pencerah kulit yang mengandung bubuk timbal dan produk berbahaya lainnya.
Gerakan lain yang menentang kosmetik muncul pada pertengahan abad ke-19, ketika Ratu Victoria dari Inggris menyatakan make up sebagai hal yang vulgar, dan kosmetik kembali ketinggalan zaman. Meski banyak perempuan yang tidak sepenuhnya berhenti menggunakan make up, waktu itu banyak yang mengaplikasikannya secara diam-diam.
Make Up Kembali Trend
Baru sekitar tahun 1920-an kosmetik yang mencolok, seperti lipstik merah dan eyeliner gelap, kembali menjadi tren. Kosmetik, yang kini diproduksi dan diiklankan, kembali menjadi tanda kekayaan dan status, dan menekankan ciri-ciri fisik.
Make up tak lagi dianggap egois atau jahat. Akhirnya, para pengiklan membujuk perempuan untuk mengambil pandangan sebaliknya make up adalah sebuah kebutuhan.
(nir/nwy)