Cuaca antariksa rupanya mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia. Tak hanya dari sisi teknologi, tetapi bahkan kesehatan manusia.
Hal tersebut diungkap oleh peneliti Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Fitri Nuraeni. Menurutnya, cuaca antariksa juga perlu dipantau lantaran mempunyai potensi bencana antariksa.
Baca juga: Potensi Bahaya Puing-puing Batuan Dekat Bumi |
Fitri menjelaskan, cuaca antariksa adalah suatu istilah yang mengacu pada kondisi dinamis yang sangat bervariasi di kawasan geoantariksa. Hal ini mencakup kondisi matahari, magnetosfer Bumi, ionosfer, dan medium antarplanet.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Matahari merupakan benda antariksa dinamis nan kompleks yang secara terus-menerus memancarkan radiasi, aliran partikel konstan yang disebut sebagai angin Matahari. Kondisi ini menghasilkan medan magnet besar yang meluas ke Tata Surya.
"Sistem monitoring cuaca antariksa atau SWIFtS sebenarnya suatu sistem dengan platform web base yang menyajikan informasi dan prediksi cuaca antariksa harian. SWIFtS (Space Weather Information and Forecast Services) memberikan informasi cuaca antariksa terkini dengan prediksinya 24 jam ke depan," jelas Fitri dalam talk show Dialog, Obrolan, Fakta Ilmiah Populer dalam Sains Antariksa, Jumat (24/11/2023), dikutip dari laman BRIN.
Masyarakat Bisa Lihat Cuaca Antariksa
Fitri bercerita, dahulu analisis SWIFtS dilakukan secara manual, baik data dari dalam negeri maupun luar negeri. Pada 2013-2014, info cuaca antariksa berupa Buletin Cuaca Antariksa yang dikirim ke para penggunanya.
Berikutnya, akses informasi beralih ke pengiriman melalui faksimile secara mingguan dan bulanan. Sekarang ini, informasinya sudah bisa dilihat secara online melalui website.
Kini, informasi mengenai cuaca antariksa bisa dilihat gratis, utamanya mengenai informasi Matahari, geomagnet, dan ionosfer. Masyarakat juga dapat mengakses https://swift.brin.go.id.
Baru Indonesia yang Punya Pemantau di ASEAN
FItri menyebutkan, di Asia Tenggara, baru Indonesia yang mempunyai sistem monitoring cuaca antariksa SWIFtS.
''Di Asia Tenggara baru Indonesia yang memiliki sistem monitoring cuaca antariksa SWIFtS,'' ungkapnya.
Dia menyebut, SWIFtS tergabung dengan jejaring internasional di International Space Environment Services (ISES) sejak 2016. ISES adalah gabungan dari negara-negara yang melakukan penelitian berkaitan dengan cuaca antariksa.
Fitri menerangkan, sistem teknologi rentan terganggu oleh cuaca antariksa. Karena itu, penting untuk melakukan mitigasi bencana antariksa tersebut.
"Perlu juga diketahui kapan kemungkinan terjadinya dan seberapa besar efeknya," kata dia.
Dia mencontohkan, cuaca antariksa dapat berdampak pada komunikasi, navigasi, atau sistem kelistrikan. Penelitian cuaca antariksa telah dilakukan ketika Pusat Riset Antariksa masih belum terintegrasi dalam BRIN.
''Jadi penelitian mengenai cuaca antariksa dilakukan mulai dari mempelajari dinamika Matahari, magnetosfer dan ionosfer. Informasi cuaca Antariksa ini dibutuhkan oleh para pengguna atau penyedia satelit dan masyarakat scientific khususnya,'' paparnya.
Pusat Riset Antariksa sendiri menurut Fitri telah berkolaborasi dengan mahasiswa dan dosen di berbagai perguruan tinggi, misalnya Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Sumatera (Itera), Universitas Nusa Cendana (Undana), Universitas Mataram, dan lainnya. Kolaborasi mengarah ke riset pemodelan atau pemahaman fisika terkait dinamika cuaca antariksa. Sementara ini, operasionalnya masih dilakukan oleh Pusat Riset Antariksa.
(nah/twu)