Bataha Santiago dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden RI Joko Widodo. Penganugerahan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 115-TK-TH-2023 tanggal 6 November 2023.
Pada 1675, penolakan Bataha Santiago atas VOC atau pemerintah Belanda di Pulau Sangihe Besar membuatnya dijatuhi hukuman mati. Ia digantung di kawasan Tahuna, Sangihe, Sulawesi Utara, yang kini dinamai Teluk Santiago.
Siapa Bataha Santiago?
Bataha Santiago merupakan keturunan Raja Tompoliu dengan permaisuri Lawewe. Setelah Raja Tompuliu menjabat pada 1645-1670, Bataha Santiago meneruskan pemerintahan Kerajaan Manganitu mulai 1670. Kerajaan ini memiliki relasi dengan Spanyol, dikutip dari buku Monumen Perjuangan di Provinsi Sulawesi Utara yang disusun AS Lolombulan, AM Sondakh, dan HJ Ulaen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kerajaan Manganitu terletak di pantai barat Pulau Sangir Besar. Bagian utara berbatasan dengan Kerajaan Tahuna, selatan dengan Kerajaan Tamako, timur dengan Kerajaan Tabukan, dan barat dengan Laut Sulawesi.
Di samping sebagian daratan Pulau Sangir Besar, Kerajaan Manganitu juga berdaulat atas Pulau Mahunu, Batunderang, dan beberapa pulau kecil lain.
Menolak Kontrak VOC Belanda
Perusahaan dagang Hindia Timur Belanda, Vereeniidge Oost-Indische Compagnie (VOC) sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda di Nusantara mendesak agar Kerajaan Manganitu memutuskan hubungan dengan Spanyol. Lebih lanjut, VOC juga meminta pihak kerajaan untuk menandatangani kontrak politik dengannya.
Raja Bataha Santiago menolak tekanan VOC, terutama setelah mendapati tiga isi pokok kontrak yang diminta VOC. Ketiganya yaitu semua tanaman cengkih harus ditebang, tidak boleh ada agama lain selain aliran Gereformeerd, dan semua alat kebudayaan kerajaan harus dibakar.
Perlawanan Fisik
Pihak Belanda menggunakan koneksinya dengan raja-raja di Sangir Besar untuk memengaruhi Raja Santiago agar menerima mereka. Namun, upaya yang gagal tersebut memicu Belanda yang dipimpin Gubernur Robertus Padtbrugge untuk menyerang Kerajaan Manganitu dengan kekuatan militer.
Raja Santiago dan rakyatnya yang mengetahui niatan tersebut menghimpun kekuatan dengan senjata tradisional berupa pedang dan perisai hingga tombak. Dengan arahan Panglima Diamanti, pasukan Bataha Santiago juga membangun markas di Paghulu, yang kini menjadi Desa Karutung, Kecamatan Manganitu. Kubu pertahanan Bataha Santiago dibangun di Batu Bahara.
Serangan pertama dan kedua pada 1675 dapat dipatahkan pasukan Bataha Santiago dengan mudah. Namun, Paghulu lepas ke tangan Belanda di serangan ketiga yang memiliki kekuatan dan persenjataan lebih besar.
Titik perlawanan terakhir Kerajaan Manganitu dipusatkan di Batu Bahara. Namun, kekuatan senjata dan pasukan Belanda membuat Batu Bahara juga jatuh ke tangan penjajah.
Tekanan dan Hukuman Gantung
Pihak Belanda lalu menawarkan perundingan pada Raja Bataha Santiago, diduga karena serangan tidak cukup menguntungkan. Perundingan tersebut merupakan kedok Gubernur Padtbruge untuk menangkap Bataha Santiago hidup-hidup.
Ketika hadir di perundingan, ia ditangkap dan dibawa ke Tahuna. Bataha Santiago kembali diminta untuk menandatangani kontrak politik dengan Belanda. Namun, ia menolak.
"Saya lebih baik rela mati untuk suatu keyakinan, Karena keyakinan saya ialah lebih baik mati menentang penjajah, atau hidup merdeka sebagai manusia yang berhak untuk melanjutkan keyakinan saya," kata Bataha Santiago pada Padtbrugge.
Kegagalan Padtbrugge mendesak Bataha Santiago membuatnya menjatuhkan hukuman gantung pada raja Kerajaan Manganitu tersebut. Hukuman mati dilangsungkan malam hari di atas bukit di Tonggeng (Tanjung) Tahuna.
Membawa Pulang Bataha Santiago
Tahu raja dan kakaknya telah meningal, Diamanti dan Gaghinggihe pergi mencari jasad Bataha Santiago. Sang raja diam-diam dibawa pulang ke Manganitu, kemudian dimakamkan di Tanjung Nento, barat daya Desa Paghulu (kini Karatung).
Untuk mengenang jasa dan peristiwa kematiannya, tempat Bataha Santiago digantung hingga kini disebut Santiago, salah satu kelurahan di Kota Tahuna, dikutip dari Peradaban di Tanah Sangihe yang Tersirat dari Sejarah Nusantara oleh Hermanto Mohonis (Ana U Kehu) dan Juinar, SPd. Tanjung tempat ia digantung kini juga dikenal dengan nama Tanjung Santiago.
Nama Bataha Santiago sebelumnya sudah pernah diusulkan untuk mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Namun, perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tanah Sangihe membuat namanya belum diresmikan sebagai pahlawan bangsa Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI Mahfud Md selaku Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) RI mengatakan, penganugerahan bagi Bataha Santiago dan lima Pahlawan Nasional lainnya merupakan bagian peringatan Hari Pahlawan tahun ini. Gelar tersebut diberikan untuk orang yang ikut memperjuangkan kemerdekaan negara, mengisi kemerdekaan dengan pengabdian, dan perjuangan dengan jasa luar biasa kepada negara tanpa pernah berkhianat.
"Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 115-TK-TH-2023 tertanggal 6 November 2023, Presiden menganugeahkan gelar Pahlawan Nasional kepada enam pejuang mulai dari perintis kemerdekaan sampai dengan pendobrak dan pejuang kemerdekaan langsung secara fisik dan orang-orang yang berjasa dalam NKRI ketika itu," kata Mahfud Md dalam jumpa pers di Kantor Kemenkopolhukam di Jakarta, dikutip dari Antara Sulut, Kamis (9/11/2023).
(twu/nah)