Perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan bangsa penuh dengan lika-liku pertumpahan darah. Ratusan ribu pahlawan gugur dalam peperangan melawan penjajah.
Bahkan setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, perlawanan terhadap pihak asing masih terus terjadi. Kedatangan sekutu pasca kemerdekaan Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat Indonesia.
Salah satunya peperangan di Surabaya yang menjadi cikal bakal peringatan Hari Pahlawan 10 November. Bagaimana sejarah Hari Pahlawan? Simak penjelasan berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Makna Hari Pahlawan
Pertempuran arek-arek Suroboyo telah menunjukkan begitu heroik para pejuang dan pahlawan bangsa dalam memukul mundur pihak sekutu. Sejak keberhasilan pemuda setelah melucuti senjata tentara Jepang di Surabaya, Badan Keamanan Rakyat (BKR) kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Dikutip dari Bunga Rampai Sejarah Indonesia karya Moehkardi, TKR bersama Pemuda Republik Indonesia (PRI), Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Barisan Hizbullah, dan barisan pemuda lainnya telah menjadi badan perjuangan bersenjata.
Pasukan pemuda yang berhasil menggulingkan barisan bersenjata Sekutu dan Belanda ini telah mengajarkan keteladanan generasi penerus bangsa akan rasa gigih, pantang menyerah, mengenalkan kewajiban serta hak sebagai warga negara.
Untuk mengenang peristiwa mempertahankan kedaulatan Indonesia itu, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur. Sehingga setiap 10 November akan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Sejarah Pertempuran 10 November
Mengutip dari buku Sejarah 3 SMA Kelas XII Program Ilmu Sosial yang ditulis oleh Drs Sardiman AM, MPd, sejarah hari pahlawan tak lepas dari pertempuran di Surabaya dalam melawan Sekutu. Pertempuran ini tidak akan lepas kaitannya dengan perebutan kekuasaan dan pelucutan senjata dari tangan Jepang.
Pada 25 Oktober 1956, A.W.S Mallaby mendarat di Surabaya dan mendapat tugas dari Allied Force for Netherlands East Indies (AFNEI) untuk melucuti senjata Jepang. Namun, kedatangan mereka ditolak oleh pemerintah Jawa Timur dibawah pimpinan Gubernur Suryo.
Akhirnya wakil-wakil pemerintahan RI dan A.W.S Mallaby mengadakan perundingan yang menyepakati janji Inggris untuk tidak membawa angkatan perang Belanda dan hanya datang untuk melucuti senjata Jepang.
AKan tetapi, pada 26 Oktober 1945, pleton Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shawn membebaskan Kolonel Huiyer, yaitu perwira Angkatan Laut Belanda. Pada 27 Oktober 1945 pukul 11 siang, akhirnya pesawat terbang Inggris menyebarkan pamflet yang meminta agar rakyat Jawa Timur menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang.
Ultimatum tersebut ditolak dan menyebabkan kontak senjata yang terjadi selama tiga hari berturut-turut. Meskipun pada 30 Oktober 1945, Ir Soekarno, Muh Hatta, dan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk menandatangani perdamaian. Namun, setelah tiga sosok itu kembali ke Jakarta ternyata pertempuran tak dapat terelakkan lagi.
Kemudian ketika Brigjen Mallaby kembali pulang, mobil yang ditumpangi, melintasi Jembatan Merah ke arah Internatio, mengalami ledakan. Kematian Mallaby ini kemudian membuat Inggris mengeluarkan peringatan Ultimatum kedua pada 9 November 1945.
Pada peringatan tersebut, rakyat Surabaya diminta untuk menyerahkan diri paling lambat pukul 06.00 WIB tanggal 10 November 1945. Apabila tidak, kota Surabaya akan diserang dari darat, laut, dan udara.
Ultimatum kedua tersebut tidak digubris oleh rakyat Indonesia. Kontak senjata dan pertempuran 10 November pun pecah. Semangat melawan mereka juga didorong oleh orasi tokoh nasional, yaitu Sutomo (Bung Tomo) melalui Radio Pemberontakan. Dalam pidatonya, Bung Tomo begitu berapi-api untuk memimpin dan mengendalikan kekuatan rakyat Indonesia.
Keadaan Surabaya semakin eksplosif sejak kontak senjata pertama terjadi di Perak. Pada mulanya, Inggris memperkirakan dapat menaklukan Surabaya dalam waktu tiga hari. Namun, Surabaya telah digempur Inggris selama hampir tiga minggu. Sektor demi sektor dipertahankan secara gigih, walaupun pihak Inggris menyerang dengan alat berat dan senjata modern.
Alhasil, Inggris baru mengalah setelah dipukul mundur rakyat Surabaya pada hari ke-21. Pertempuran terakhir di Gunungsari pada 28 November 1945 menunjukkan kekalahan Inggris. Namun, perlawanan secara sporadis masih dilakukan di berbagai titik tempat.
Dengan demikian, itulah sejarah Hari Pahlawan. Peristiwa tersebut menjadi lambang keberanian dan kebulatan tekad rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan membela Tanah Air Indonesia.
(pal/pal)