Konflik Palestina - Israel memanas usai Hamas meluncurkan ribuan roket dan menginfiltrasi Israel. Setelah berteriak atas serangan Hamas, Israel balas meluncurkan operasi pedang besi di jalur Gaza.
Pada 27 Oktober 2023, Israel kembali melayangkan kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity) kepada warga sipil di Gaza. Kampanye sistematis kejahatan manusia tersebut dan kontroversi di wilayah Gaza menuai sorotan hingga kini.
Dr Enny Narwati SH MH selaku pakar Hukum Humaniter Internasional (HI) Universitas Airlangga (Unair) mengatakan, hingga saat ini belum diketahui pasti motivasi Israel melakukan kejahatan perang di Gaza. Ia memperkirakan, tindakan tersebut salah satunya memiliki dasar kepentingan militer dan balasan atas serangan Hamas sebelumnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penduduk dan Objek Sipil Tidak Boleh Diserang
Enny menjelaskan, penduduk dan objek sipil harus dikecualikan dari objek serangan. Sebab dalam konflik bersenjata, prinsip yang digunakan antara lain military necessity, distinction, humanity dan proportionality. Pada aspek distinction principle perang, kombatan dan sasaran militer adalah yang boleh diserang.
Berdasarkan Pasal 52 Protokol Tambahan I tahun 1977, ia menambahkan, objek sipil adalah semua objek yang bukan sasaran militer. Sedangkan sasaran militer adalah obyek-obyek yang karena sifat, tempat, peruntukan, atau penggunaannya memberikan kontribusi yang efektif terhadap aksi militer.
"Sedangkan objek yang menghancurkan seluruh atau sebagian serta penguasaan atau netralisasinya pada situasi yang berlaku pada saat itu, memberikan keuntungan militer yang berarti," terangnya, dikutip dari laman kampus, Jumat (3/11/2023).
Enny menegaskan, serangan Israel dapat diasumsikan melanggar Hukum Humaniter Internasional (HHI) jika menyerang gedung kepentingan penduduk sipil, bukan menyerang gedung untuk kepentingan militer. Israel juga perlu memperhatikan prinsip HHI lainnya yang mengacu pada military necessity, humanity dan proporsionalitas.
Untuk itu, ia menjelaskan, tindakan Israel di konflik saat ini tidak sah dan melanggar HHI apabila keuntungan militer yang diraup tidak sebanding dengan penderitaan penduduk sipil.
Aturan Penggunaan Senjata Perang
Terkait senjata di tengah konflik, Enny mengatakan bahwa para pihak berkonflik boleh menggunakan senjata yang tidak dilarang hukum dan mengacu pada humanity principle. Senjata tersebut tidak boleh mengakibatkan unnecessary suffering ataupun superfluous injury.
Ia menambahkan, ada batasan penggunaan fosfor dalam medan perang sebagaimana telah diatur dalam konvensi penggunaan senjata kimia.
"Kalau melebihi ambang batas tertentu tersebut, maka tidak boleh digunakan karena akan mengakibatkan luka berlebihan bagi orang yang kena senjata tersebut," jelasnya.
Lebih lanjut, terdapat sejumlah konvensi internasional yang mengatur bahwa senjata hanya boleh digunakan untuk kombatan dan sasaran militer saja. Untuk itu, penggunaan senjata tidak boleh bersifat indiscriminate attack yang berpotensi mengenai penduduk sipil.
Enny menggarisbawahi, hukum yang berlaku di masa damai berbeda dengan hukum yang berlaku pada masa peperangan. Dalam peperangan, kombatan memiliki untuk menyerang dan diserang, hak atas status tawanan perang jika tertangkap oleh pihak musuh, dan tidak dapat disalahkan jika membunuh musuh.
Namun, sambungnya, penduduk sipil tetap harus dikecualikan dari sasaran serangan dan mendapatkan perlindungan secara internasional selama peperangan. Ketentuan ini telah diatur dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 tentang Perlindungan terhadap Penduduk Sipil.
Rekonsiliasi Konflik
Gencatan senjata atau ceasefire menurut Enny dapat menjadi solusi sambil menjajaki penyelesaian sengketa Israel-Palestina meskipun tidak permanen.
"Jika gencatan senjata disepakati, maka harus ada pihak yang mengawasi dan mengawal pelaksanaannya. Mungkin bisa dibentuk UN Peacekeeping (penjaga keamanan dari PBB)," kata pakar HHI Unair tersebut.
Di sisi lain, kesempatan penegakan hukum dan pemberian sanksi diberikan kepada masing-masing negara. Enny menjelaskan, hukum internasional menyediakan berbagai opsi mekanisme.
"Konvensi Jenewa 1949 mewajibkan negara untuk membuat peraturan perundang-undangan nasional untuk memberikan sanksi bagi pelaku pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (HHI). Selain itu, saat ini juga ada International Criminal Court (ICC) yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili kejahatan perang dan kejahatan internasional lainnya," jelasnya.
(twu/nah)