Demi mencapai kemerdekaan, para pejuang telah melakukan perlawanan selama bertahun-tahun. Ada deretan perlawan yang terjadi sebelum tahun 1800, tetapi perlawanan demi perlawanan lainnya pun kembali terbentuk setelahnya.
Tentunya hal ini karena masih berlangsungnya kekejaman atas penjajahan Belanda, hingga mengharuskan rakyat di banyak daerah kembali melakukan perlawanan. Mengutip dari buku Sejarah untuk Kelas XI SMA Program Bahasa oleh Nana Supriatna, perlawanan setelah tahun 1800 ini ditandai dengan persaingan memperebutkan hegemoni di antara kerajaan-kerajaan Nusantara.
Berikut adalah beberapa perlawanan setelah tahun 1800 yang dikutip dari beberapa sumber, seperti buku Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi) untuk Kelas VIII SMP oleh Nana Supriatna dkk, dan buku Explore Sejarah Indonesia Jilid 2 untuk SMA/MA Kelas XI oleh Abdurakhman dan Arif Pradono, serta sumber yang sebelumnya disebutkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perlawanan Daerah Setelah Tahun 1800
1. Perlawanan Pattimura
Setelah Belanda menang dalam pertempuran di Maluku, Belanda kembali berkuasa yang mengakibatkan penurunan kesejahteraan masyarakat Maluku. Dalam menanggapi hal tersebut, sejumlah tokoh dan pemuda Maluku mengadakan pertemuan rahasia di Pulau Haruku.
Kemudian, pertemuan lain diadakan pada 14 Mei 1817 di Hutan Kayu Putih, Pulau Sapura. Melalui pertemuan-pertemuan ini diputuskan untuk melawan penjajahan Belanda yang penuh keserakahan dan kekejaman.
Pada 15 Mei 1857, tembak-menembak terjadi ketika Thomas Matulessy, yang lebih dikenal sebagai Pattimura, memimpin perlawanan melawan Belanda untuk merebut Benteng Duurstede di Saparua. Perlawanan ini juga meluas ke wilayah lain, termasuk penyerangan Benteng Zeelandia di Pulau Haruku.
Belanda memobilisasi pasukan dari Ternate dan Tidore untuk menghadapi perlawanan ini, yang menyebabkan kekalahan bagi Pattimura. Pattimura ditangkap dan dihukum mati, sementara Martha Christina Tiahahu yang melanjutkan perlawanan pun juga ditangkap serta diasingkan ke Pulau Jawa yang akhirnya meninggal pada 2 Januari 1818 karena mogok makan dan penolakan membuka mulut.
2. Perang Padri
Berlangsung dari tahun 1821 hingga 1837, perang Padri adalah konflik di Sumatera Barat yang bermula dari perbedaan pandangan antara Kaum Paderi, kelompok yang ingin menyebarkan Islam dan menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan Islam dengan Kaum Adat yang mempertahankan tradisi adat istiadat mereka. Kaum Padri menguasai wilayah pedalaman, sedangkan Kaum Adat mencari bantuan dari Inggris yang menguasai daerah pesisir.
Pada tahun 1819, Belanda merebut kembali Padang dari Inggris dan Kaum Adat meminta bantuan Belanda untuk menghadapi Kaum Paderi. Pada tahun 1821, Belanda dan Kaum Adat menandatangani perjanjian, tetapi Belanda melanggarnya. Pertempuran pun terjadi di berbagai tempat termasuk Sulit Air, Solok, dan Kota Bonjol.
Pada 15 November 1825, kedua pihak kembali berunding dan menghasilkan sebuah traktat yang berisi pengakhiran peran dan permusuhan. Namun, Belanda malah membangun pos-pos penjagaan di perbatasan, sehingga memicu peperangan kembali.
Pada 1833, Kota Bonjol jatuh ke tangan Belanda, tetapi kemudian berhasil direbut kembali oleh Kaum Paderi. Sebagian Kaum Adat juga berbalik melawan Belanda, sehingga Belanda meminta bantuan Sentot Alibasha Prawirodirjo, bekas panglima Pangeran Diponegoro, yang akhirnya bersekutu dengan Kaum Padri.
Pada 25 Oktober 1833, Belanda mengeluarkan maklumat Plakat Panjang untuk mencoba mengakhiri perang, tetapi serangan Belanda terus berlanjut hingga 1837, ketika Kota Bonjol jatuh ke tangan Belanda lagi. Tuanku Imam Bonjol yang memimpin Kaum Padri, berhasil lolos dan berunding dengan Belanda. Namun, Belanda melakukan tipu muslihat dan berhasil menangkap Tuanku Imam Bonjol pada 25 Oktober 1833 yang kemudian dibuang ke Manado.
3. Perlawanan Pangeran Diponegoro
Perang Diponegoro berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830. Ini adalah konflik yang terjadi sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan Belanda di Kesultanan Yogyakarta. Perang ini bermula dari bagian Selatan Yogyakarta dan meluas hingga seluruh Jawa.
Intervensi politik Belanda dalam urusan kesultanan, ditambah dengan penghinaan terhadap Pangeran Diponegoro terkait pembangunan jalan yang melalui makam leluhurnya menjadi pemicu utama perang ini. Diponegoro dan para pendukungnya membangun pusat pertahanan di Selarong dan mendapatkan dukungan dari berbagai tokoh.
Perang ini berlanjut hingga 1826 dengan kemenangan Diponegoro. Di lain sisi, Belanda menerapkan taktik Benteng Stelsel untuk mematahkan perlawanan. Pada 1829, kekuatan Diponegoro mulai berkurang, banyak pengikutnya ditangkap atau tewas dalam pertempuran.
Perundingan antara Diponegoro dan Belanda pada 1830 berakhir dengan pengkhianatan Belanda dengan melakukan penangkapan Diponegoro pada 28 Maret 1830 yang dibuang ke Manado.
4. Perang Aceh
Pada abad ke-18 hingga ke-19, Kesultanan Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda mencapai puncak kejayaan. Namun, kedudukan Aceh mulai terancam setelah Terusan Suez dibuka, dan Belanda serta Inggris menandatangani Traktat Sumatra pada 1871.
Aceh mencari bantuan asing karena merasa terancam oleh Belanda. Sementara, Belanda menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan mereka di Nusantara, namun Aceh menolak. Belanda pun kemudian mengirim pasukan ke Kutaraja pada 1873 yang gagal dengan tewasnya Mayor Jenderal Kohler.
Belanda melancarkan serangan kedua pada Desember 1873 dan merebut istana Kesultanan Aceh. Namun, Aceh masih menguasai daerah di luar Kutaraja dan belum dapat ditaklukkan. Oleh karena itu, Belanda mengirimkan Snouck Hurgronje seorang ahli kajian Islam yang ditugasi untuk menyelidiki masyarakat Aceh.
Pada 1891, tokoh pejuang Aceh yang dikenal sebagai Teuku Cik Ditiro dinyatakan tewas. Pada 1893 Teuku Umar menyatakan menyerah kepada Belanda, namun kemudian melarikan diri dan bergabung kembali dengan pejuang Aceh. Pada 1899, Teuku Umar tewas di Meulaboh. Cut Nyak Dhien melanjutkan perjuangan dengan gerilya.
Pada November 1902, Belanda menangkap istri Sultan Aceh dan anak-anaknya. Sultan Daudsyah menyerah pada 1903, tetapi perlawanan rakyat Aceh berlanjut secara gerilya. Cut Nyak Dhien ditangkap pada 1905, dan Cut Nyak Meutia gugur pada 1910. Perang Aceh akhirnya berakhir pada 1912 setelah berlangsung selama beberapa dekade.
5. Perang Bali
Pulau Bali sebelum abad ke-9 dikuasai oleh beberapa kerajaan kecil yang akhirnya berada di bawah Kerajaan Klungkung. Klungkung membuat perjanjian dengan Belanda pada 1841, yang menjadikan Klungkung sebagai negara bebas dari pengaruh Belanda. Namun, Belanda terus mencari cara untuk menguasai Bali.
Pada 1844, perahu dagang Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan Buleleng. Kapal tersebut terkena Hukum Tawan Karang, yang memungkinkan Buleleng untuk mengendalikannya. Ini mendorong Belanda untuk menyerang Kerajaan Buleleng pada tahun 1848, tetapi serangan pertama mereka gagal.
Pada serangan kedua tahun 1849, pasukan Belanda berhasil merebut benteng terakhir Buleleng di Jagaraga dalam peristiwa yang dikenal sebagai Puputan Jagaraga. Setelah Buleleng jatuh, Belanda mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan Bali lainnya.
Akibatnya, perlawanan rakyat Bali terhadap penjajahan Belanda ditandai oleh berbagai perang puputan, di mana mereka berjuang habis-habisan untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka. Beberapa perang puputan yang terkenal meliputi Puputan Badung pada 1906, Puputan Kusamba pada 1908, dan Puputan Klungkung pada 1908.
6. Perang Banjarmasin
Campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan pada pertengahan abad ke-19 menyebabkan perlawanan di Kesultanan Banjarmasin. Pada 1826, Sultan Adam memulai hubungan diplomatik dengan Belanda, tetapi pada 1850 muncul perselisihan. Setelah Sultan Adam meninggal pada tahun 1857, konflik ini terus berlanjut.
Pangeran Antasari, putra Sultan Muhammad yang anti-Belanda, memimpin Perang Banjarmasin pada tahun 1889.Selama perang, Belanda mencoba menunjuk Pangeran Hidayatullah sebagai sultan, tetapi dia menolak dan mendukung Pangeran Antasari.
Pangeran Hidayatullah ditangkap dan dibuang pada 1862, tetapi perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Antasari terus berlanjut.
Kemudian, rakyat Banjarmasin akhirnya mengangkat Pangeran Antasari menjadi sultan, namun Pangeran Antasari akhirnya tewas dalam pertempuran melawan Belanda pada 1862. Meskipun Belanda berhasil menaklukkan beberapa wilayah di Nusantara, perlawanan kerajaan berlanjut hingga akhir abad ke-19.
Terdapat perlawanan di berbagai daerah, seperti Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Lampung, dan Sumatera Utara. Namun, perlawanan ini sering kali dilakukan secara kedaerahan dan mudah dipadamkan oleh Belanda.
Jadi, itulah beberapa perlawanan daerah yang muncul akibat kejamnya jajahan dari bangsa asing di Nusantara. Selamat belajar!
(nah/nah)