Serangkaian tindakan penjajahan Belanda, telah menimbulkan banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia. Strategi perlawanan yang ditempuh umumnya dengan perlawanan bersenjata.
Sayangnya perlawanan tersebut belum cukup mampu menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Hal ini dikarenakan, perlawanan mereka masih bersifat kedaerahan atau dalam wilayah tertentu saja.
Kemudian, pada tahun 1800-an awal, Belanda menerapkan Pax Netherlandica untuk menyatukan wilayah-wilayah jajahannya dalam rangka menguasai perdagangan dari berbagai daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan ini kemudian membuka celah diterapkannya Politik Etis. Karena, pada kebijakan tersebut Belanda ingin menerapkan administrasi baru yang terpusat di Batavia. Politik Etis ini nantinya dikenal sebagai awal mula pergerakan nasional Indonesia yang mendorong perlawanan bangsa Indonesia secara nasional.
Apa sih yang dimaksud dengan Politik Etis? Siapa pencetusnya? Dan apa saja kebijakannya? Yuk simak artikel berikut ini.
Sejarah Politik Etis
Memasuki abad ke-20, Belanda menerapkan kebijakan politik etis atau politik "balas budi". Mengapa disebut demikian? Pasalnya, praktik politik kolonial yang dilakukan belanda dari masa transisi, konservatif, hingga liberal membawa kemerosotan kehidupan masyarakat.
Pemerintahan kolonial menerapkan kebijakan ekonomi berbasis sistem kapitalisme Barat. Dengan melakukan tindakan komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang berbasiskan pajak tanah berdampak pada penurunan kesejahteraan rakyat Indonesia yang saat itu menjadi rakyat Hindia Belanda.
Mengutip dari buku Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK Kelas XI karangan Sardiman AM dkk., kebijakan-kebijakan tersebut pun mendapat kritik dari politikus serta intelektual Hindia Belanda bernama Conrad Theodore Van Deventer. Pada tahun 1899, di Belanda, Van Deventer menulis artikel di majalah De Gids yang berjudul "Een Eereschlud" yang berarti utang kehormatan.
Dalam tulisannya, Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang sangat besar. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bagi Belanda untuk membayar utang budi rakyat di negara jajahannya.
Kritikan tersebut mendapat perhatian dari berbagai kalangan, khususnya pemerintah Belanda. Ratu Wilhelmina akhirnya mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan baru itu adalah Politik Etis.
Dikutip dari buku Sejarah Kelas XI karya Martina Safitri dkk., kebijakan Politik Etis dimulai sejak tahun 1901 untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Sebelum memasuki masa politik etis, perkembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi berdampak kecil bagi masyarakat pribumi karena tidak semua lapisan masyarakat dapat mempelajarinya. Perkembangan ini kemudian melahirkan golongan cendekiawan dan menjadi awal dari masa Pergerakan Nasional bangsa Indonesia.
Kebijakan Politik Etis Belanda
Mengutip dari buku Sejarah SMA/MA Kls XI-IPA tulisan A. Ferry T Indratno, dkk., kebijakan Politik Etis Belanda ditandai dengan pengangkatan gubernur jenderal baru yaitu J.B. Van Heutsz (1904 - 1909) dan penasihatnya yaitu Prof. C. Snouck Hurgronje.
Pada masa Politik Etis, dikenal Trilogi Politik Etis yang dikemukakan Van Deventer sebagai bentuk kebijakan 'balas budi' pada rakyat Hindia Belanda. Ketiga kebijakan tersebut di antaranya:
1. Irigasi (pengairan). Karena sebagian besar rakyat Indonesia hidup dengan cara bertani, maka pemerintah Belanda membangun sarana irigasi untuk mengairi lahan-lahan pertanian.
2. Transmigrasi (perpindahan penduduk). Pemberlakuan Undang-Undang Agraria (1870), membuat rakyat di nusantara tidak dapat leluasa bekerja di lahan pertanian Jawa. Hal ini mengharuskan pemerintah untuk menyelenggarakan program transmigrasi dari Jawa ke luar Jawa pada 1905.
3. Edukasi (pendidikan). Rakyat Indonesia masih terhitung sebagai SDM terbelakang. Hal ini membuat pemerintah Belanda untuk meningkatkan kemampuan SDM rakyat Indonesia dengan menyebarluaskan penyelenggaraan dan akses pendidikan.
Akan tetapi, dalam kepemimpinan Van Heutsz dan Snouck Hurgronje, berusaha menerapkan konsep Pax Neerlandica. Konsep tersebut mendidik orang Indonesia untuk berperilaku Belanda, mulai dari cara berpakaian, berbicara, berpikir, bahkan bernama Belanda. Selain itu, dalam kebijakan tersebut muncul beberapa penyelewengan di antaranya:
1. Pendidikan yang dilaksanakan hanya pendidikan tingkat rendah untuk memenuhi pegawai rendah pemerintah Belanda.
2. Irigasi hanya dibangun di daerah-daerah yang terdapat perkebunan milik Belanda
3. Transmigrasi ke luar Jawa, khususnya di Sumatera, hanya ditujukan untuk mempermudah pengusaha-pengusaha Barat di luar Jawa untuk memperoleh tenaga kerja.
Demikian, sejarah mengenai Politik Etis Belanda termasuk kebijakan dan penyelewengannya.
(pal/pal)