Piagam Jakarta digunakan sebagai landasan awal yang membuka jalan menuju pembentukan Undang-Undang Dasar 1945. Piagam Jakarta atau Jakarta Charter sendiri diinisiasi melalui kesepakatan para anggota Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945.
Perumusan Piagam Jakarta sendiri melalui perdebatan yang mengacu pada tujuh kata. Lantas, bagaimana sejarahnya hingga rampung disepakati dan mengalami perubahan?
Baca juga: Kapan UUD 1945 Disahkan? Begini Sejarahnya |
Awal Mula Perumusan Piagam Jakarta
Dalam merumuskan dasar negara, BPUPKI mengadakan sidang pertama yang dimulai sejak 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Namun, sidang pertama ini belum menemukan hasil karena adanya perbedaan pandangan sejumlah tokoh yang mengusulkan dasar negara, yang kini disebut sebagai Pancasila.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Panitia sembilan pun dibentuk dengan tujuan menerima dan menanggapi berbagai masukan terkait dasar negara, dikutip dari Buku Siswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) SMP/MTs Kelas 7 oleh Sri Nurhayati dan Iwan Muharji.
Sidang panitia sembilan menghasilkan dokumen bersejarah mengenai dasar negara, yang disebut sebagai Piagam Jakarta. Istilah Piagam Jakarta pertama kalinya diberikan oleh Muhammad Yamin, dikutip dari Spirit Piagam Jakarta dalam Undang-undang Dasar 1945 oleh Mujar Ibnu Syarif di Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.
Nama Piagam Jakarta dipakai karena dokumen ini ditandatangani panitia sembilan di hari jadi Kota Jakarta, 22 Juni 1945. Isi Piagam Jakarta kemudian disepakati BPUPKI untuk dimuat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Isi Piagam Jakarta
Berikut adalah isi Piagam Jakarta:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 22 Juni 1945
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Panitia Sembilan
Perubahan Naskah Piagam Jakarta
Pada 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta mengubah rumusan 'tujuh kata', dikutip dari Histori Piagam Jakarta: Spirit Perjuangan Penerapan Nilai Islam Secara Yuridis Konstitusional oleh Ariesman dalam Jurnal Bidang Hukum Islam.
Tujuh kata itu adalah "...dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Penghilangan ketujuh kata tersebut dilakukan karena ada ancaman dari kalangan agama lain di Indonesia Timur yang ingin memisahkan diri jika rumusan tujuh kata tersebut masih digunakan.
Golongan Islam saat itu pun setuju, mengingat situasi genting pascaproklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan janji Soekarno untuk membahasnya setelah Perang Asia Timur Raya selesai atau enam bulan kemudian.
Saat revolusi kemerdekaan, umat Islam tidak mempermasalahkan perubahan Piagam Jakarta. Namun, setelah revolusi selesai dan Konstituante terbentuk, mereka mempertanyakan kembali dokumen tersebut.
Akhirnya, saat sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, Mohammad Hatta membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi politik tersebut.
- Kata "Muqaddimah" diganti dengan kata "Pembukaan"
- Sila pertama dalam pembukaan UUD 1945 yang sebelumnya berbunyi "berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya" diganti dengan "berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"
- Perubahan Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi "Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam" diganti menjadi "Presiden ialah orang Indonesia asli"
- Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi "Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti dengan "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa."
Hingga sekarang, rumusan dasar negara dalam UUD 1945 dikenal dengan (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(twu/twu)