Pada masa demokrasi liberal, badan konstituante tidak berhasil menyusun undang-undang dasar yang baru. Keadaan ini memancing persaingan politik dan menyebabkan kondisi ketatanegaraan bangsa Indonesia menjadi tidak menentu.
Diketahui, dari buku Ilmu Hukum Tata Negara, kebijakan demokrasi terpimpin muncul untuk mengembalikan keadaan politik negara atas ketidakstabilan masa demokrasi liberal. Periode demokrasi terpimpin di Indonesia berlangsung sejak dikeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 oleh Soekarno.
Isi dekrit Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 adalah:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
- Menetapkan pembubaran Konstituante
- Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950)
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)
Pada mulanya, ide demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Namun, lama kelamaan, bergeser menjadi dipimpin oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dan menimbulkan beberapa penyelewengan.
Ciri-ciri Demokrasi Terpimpin
Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut 5 ciri-ciri praktik demokrasi terpimpin dikutip dari Buku Saku Sejarah UTBK-SBMPTN 2021 karya Syahri Ramadhan.
1. Dominasi Kekuatan Politik di Tangan Presiden
Menurut Bambang Suparno dalam bukunya yang berjudul "Ilmu Hukum Tata Negara" kedudukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada masa demokrasi terpimpin berada di bawah Presiden. Oleh karena itu, presiden dapat mengakut apa hal-hal yang harus dilakukan oleh MPR dan MPR wajib tunduk kepada presiden.
Padahal jika merujuk pada UUD 1945, kedudukan presiden berada di bawah MPR. Hal tidak sejalan lainnya adalah penetapan Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS.
2. Pembatasan Hak Politik Rakyat
Kepemimpinan Presiden Soekarno tanpa batas ini terbukti dengan lahirnya kebijakan yang menyimpang dari UUD 1945. Misalnya, pada tahun 1960 Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilihan umum dan menggantinya dengan DPR Gotong Royong (DPR GR) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Selain itu, kebijakan kooptasi dan pembubaran partai politik beserta organisasi kemasyarakatannya menimbulkan batasan hak politik pada warga negara. Kebijakan tersebut dibuat dengan alasan menciptakan stabilitas politik dengan memusatkan kekuasaan.
3. Munculnya Partai Penguasa/ Partai Mayoritas
Hilangnya kontrol sosial dan check and balance dari lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif semakin parah dengan peranan partai mayoritas. Partai politik yang saat itu mendominasi kehidupan politik Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mulanya, muncul konsepsi presiden terkait "Kabinet Gotong Royong" yang terdiri dari wakil partai termasuk PKI ditambah golongan fungsional yaitu Golongan Karya (GOLKAR). Namun, konsepsi presiden ditolak oleh partai lain dengan membentuk Liga Demokrasi.
Menurut buku Filsafat Pancasila dan Kenegaraan karya Gianto, mengetahui hal itu, Soekarno membubarkan Liga Demokrasi dan membentuk Front Nasional yang selanjutnya digunakan PKI sebagai wadah kegiatan politik. Front Nasional menjadi bagian strategi komunisme internasional dalam mempersiapkan demokrasi rakyat.
4. Semakin Besar Peranan Militer dalam Dwifungsi ABRI
Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, pimpinan nasional TNI-AD mengeluarkan perintah harian untuk mengamankan Dekrit. Di bawah perintah Presiden Soekarno sebelumnya, TNI dan Polri disatukan pada tahun 1946.
Hal tersebut mendorong keputusan Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi di dalam TNI. Ia menciptakan kondisi unggul-mengungguli (balance of power) baik antar angkatan maupun TNI dengan partai politik. Oleh karena itu, fungsi ABRI semakin luas hingga fungsi pada politik Indonesia.
5. Politik Luar negeri Oldefo-Nefo
Sikap politik luar negeri Indonesia yang mulanya bebas-aktif berubah menjadi politik luar negeri poros. Negara membagi kekuatan politik dunia menjadi dua yaitu Oldefo dan Nefo. Oldefo (Old Established Forces) merujuk pada kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis.
Sedangkan Nefo (New Emerging Forces) , yaitu kekuatan baru. Dengan paham tersebut, Indonesia menyelenggarakan pesta olahraga negara-negara Nefo yang dikenal dengan nama Ganefo (Games of New Emerging Forces). Dan berhasil membentuk poros Jakarta - Phnom Penh - Peking.
Akibat dari salah satu ciri demokrasi terpimpin ini, hubungan Indonesia dengan negara barat menjadi renggang. Hubungan dengan negara timur menjadi erat karena Uni Soviet memberikan kredit pembelian peralatan militer modern. Hal ini justru menimbulkan konfrontasi dengan negara tetangga, yaitu Malaysia.
Alasan konfrontasi tersebut adalah Malaysia membentuk Federasi Penggabungan negara bekas jajahan Inggris yang oleh Soekarno dianggap membahayakan negara-negara Nefo. Sehingga pada tanggal 3 Mei 1964 Soekarno mengeluarkan Dwikora.
(pal/pal)