Kisah Jejak Budak Afrika 'Merdeka' di Pulau Kecil Atlantik

ADVERTISEMENT

Kisah Jejak Budak Afrika 'Merdeka' di Pulau Kecil Atlantik

Trisna Wulandari - detikEdu
Selasa, 12 Sep 2023 20:00 WIB
Budak Afrika di St Helena masih dapat ditemukan di sana hingga tahun 1900-an.
Budak Afrika di St Helena masih dapat ditemukan di sana hingga tahun 1900-an. Foto: National Museum Liverpool
Jakarta -

Sekitar 27.000 budak yang dibawa paksa dari Afrika ke Amerika hingga Inggris dibebaskan pada 1840-1867. Namun sebelum sampai kembali ke Tanah Air, mereka rupanya 'dikarantina' Inggris di pulau kecil St Helena di tengah-tengah Atlantik Selatan, lalu ditinggalkan di sana.

Sebagian bertahan hidup dan kelak jadi cikal bakal komunitas Afrika merdeka di Atlantik. Sedangkan sebagian lainnya tewas di pos tersebut akibat kelaparan, cacar, dan dehidrasi sejak dibawa berlayar paksa. Segelintir eks budak berkesempatan mendapat repatriasi ke Afrika, kendati harus kembali berlayar di perjalanan yang mengancam nyawa.

Temuan ini dilaporkan peneliti Marcela Sandoval-Velasco dan rekan-rekan di American Journal of Human Genetics (AJHG). Para peneliti menemukan jejak para eks budak trans-Atlantik di St Helena tersebut lewat DNA. Bagaimana kisahnya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jejak Budak 'Merdeka' di Pulau Kecil Atlantik

St Helena merupakan pos strategis Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Pulau di tengah-tengah Samudra Atlantik ini jadi tempat menerima budak Afrika yang 'dimerdekakan' Inggris dengan cara mencegat kapal itu sampai ke tempat perdagangan manusia maupun tempat perbudakan aslinya. Inggris sendiri diketahui sebagai bangsa pelaku perbudakan terbesar di dunia dan yang terakhir melakukan penghapusan perbudakan.

Orang-orang di kapal itu diperkirakan berasal dari Afrika Tengah Barat. Namun, asal-usul tepatnya tidak diketahui.

ADVERTISEMENT

Tim peneliti menyatakan, studi tentang budak ini penting untuk memahami lahir dan berkembangnya komunitas Afrika merdeka di tengah-tengah Samudra Atlantik. Lebih lanjut, studi ini menunjukkan bahwa analisis DNA kuno bisa dimanfaatkan untuk investigasi asal-usul dan identitas orang-orang yang terkait perbudakan dan pembebasannya, termasuk keturunannya.

"Proyek ini bagian dari upaya besar orang-orang di dalam dan luar pulau ini untuk mengembalikan kisah dan pengetahuan tentang budak merdeka Afrika di St Helena," kata Helena Bennett, salah satu penulis studi yang juga warga St Helena, di pernyataan resmi dalam Phys.

"Kami berharap, dengan menceritakan kisah mereka, kami bisa menghormati warisannya, dan memastikan bahwa hidup dan takdir mereka tidak dilupakan," imbuhnya.

Analisis DNA Budak Terdampar

Berdasarkan analisis DNA kuno, para peneliti pun coba mencari tahu asal-usul mereka, kehidupan, dan pengalaman mereka hingga meninggal jauh dari Tanah Airnya. Sandoval-Velasco dan rekan-rekan pun mendapatkan genom parsial dari 20 jenazah budak yang ditemukan dari penggalian arkeologi di pulau itu.

Para peneliti lalu membandingkan genom mereka dengan data genotip lebih dari 3.000 orang masa kini dari 90 populasi di seluas kawasan Afrika sub-Sahara. Hasilnya, para budak di Pulau St Helena itu besar kemungkinan berasal dari beragam daerah di Angola utara dan Gabon.

Temuan tersebut selaras dengan catatan sejarah abad ke-19. Saat itu, perdagangan dari Afrika Tengah bergeser ke sekitar Luanda dan Benguela, Angola tengah. Akibatnya, warga setempat dibawa paksa dari sana dan dilayarkan ke benua lain. Kondisi senada terjadi di Angola utara, khususnya yang dekat Gabon selatan dan Ambriz, Luanda utara.

Jejak dari Bahasa yang Diturunkan

Jejak para budak merdeka juga terdeteksi lewat bahasa mereka yang beragam di St Helena. Umumnya, mereka berbicara dengan bahasa Benguela, dengan variasi seperti sedikit dialek Kongo. Dari situ, peneliti memperkirakan mereka juga salah satunya berasal dari Kongo.

Bias Laki-laki & Perempuan

17 dari 20 jenazah budak Afrika tersebut juga teridentifikasi sebagai laki-laki. Temuan ini mendukung sejumlah data yang menunjukkan bias soal jenis kelamin di akhir masa perdagangan budak trans-Atlantik.

Temuan para peneliti juga sesuai dengan analisis jenazah di Rupert's Valley, tempat penampungan para budak yang dapat izin tinggal menetap di St Helena. Sebanyak 82 persen jenazah di area ini terdeteksi sebagai laki-laki.

Hasil penelitian ini sesuai dengan catatan sejarah bahwa dua pertiga tawanan Afrika yang dipaksa jadi budak adalah laki-laki, sementara sisanya perempuan. Bias ini diperkirakan makin besar saat akhir perdagangan budak di tengah abad ke-19.




(twu/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads