Yogya Darurat Sampah, Pakar UGM: Terus Berulang tapi Belum Ada Solusi Tepat

ADVERTISEMENT

Yogya Darurat Sampah, Pakar UGM: Terus Berulang tapi Belum Ada Solusi Tepat

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 11 Agu 2023 20:00 WIB
Suasana di TPA Piyungan, Jumat (28/7/2023).
Soal Yogya darurat sampah, para pakar UGM terangkan aturan dan solusinya. Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja
Jakarta -

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul, Yogyakarta ditutup Pemda DIY mulai 23 Juli-5 Oktober 2023 gara-gara overload alias kelebihan muatan. Akibatnya, sampah warga menumpuk dan TPA Piyungan dibuka lagi secara terbatas. Alternatifnya, warga bisa buang sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Tamanmartani, Sleman.

Protes warga sempat mencuat akibat munculnya wacana pembangunan TPS Cangkringan, Sleman, namun rencana itu batal. Terkait polemik Yogya darurat sampah itu, Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama pakar UGM Nur Azizah, SIP, MSc dan Suci Lestari Yuana, MIA mengingatkan aturan dan solusi bagi warga.

Nur mengatakan, warga sendiri masih kurang punya kesadaran soal sampah. Salah satunya tampak dari sampah menumpuk di pemukiman saat TPA Piyungan tutup.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pertanyaannya, kenapa setelah penuh setelah ditutup baru gaduh. Memangnya selama ini kita tidak punya masalah sampah? Sekarang kita bisa melihat ya, yang selama ini kita kira sudah dikelola, ternyata belum," kata Nur dalam diskusi Piyungan Penuh, Masyarakat Gaduh, Selasa (8/8/2023) lalu.

"Penutupan ini kan, bukan pertama kalinya. Tapi terus berulang dan belum memiliki solusi yang tepat," sambungnya dalam laman resmi kampus.

ADVERTISEMENT

Aturan Sampah vs Kenyataan

Aturan soal pengelolaan sampah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, implementasi regulasi tersebut menurut Nur masih sangat kurang.

"Kalau kita lihat dari undang-undang, isinya itu canggih sekali. Sudah disebutkan tentang 3R (reduce, reuse, recycle), bahkan muncul juga EPR atau Extended Producer Responsibility," katanya.

"Kalau kita cek lagi di 2008 itu, TPA yang sebelumnya adalah Tempat Pembuangan Akhir, sudah diubah menjadi Tempat Pemrosesan Akhir. Jadi secara ide, undang-undang itu sudah mengadopsi bahwa yang masuk ke TPA itu adalah residu saja," sambung Nur.

Ia menjelaskan, aturan tersebut juga berisi target mengubah TPA se-Indonesia jadi berbasis sanitary landfill dalam 5 tahun. Sedangkan kenyataannya, mayoritas TPA hanya jadi lokasi penumpukan sampah, bukan pengelolaan sampah. Akibatnya, gunungan sampah di TPA sulit terkelola dengan baik.

Solusi buat Atasi Sampah

Suci Lestari Yuana, MIA, dosen Fisipol UGM menuturkan, sejak 2021, ia mendirikan sekolah economy circular untuk atasi masalah kesadaran pengelolaan sampah di masyarakat.

Sekolah ekonomi sirkular ini memberi pemahaman pada sekolah-sekolah untuk mengurangi sampah dalam aktivitas pembelajaran. Contohnya seperti membawa alat makan dan minum sendiri ke kelas, membuat ecobrick (wadah isi sampah plastik yang bisa jadi 'bata'), dan pemahaman tentang memilah sampah.

Bagi Suci, perubahan jangka panjang bisa dimulai dari pendidikan. Untuk itu, ia mengundang kepala sekolah di Jawa untuk mengenalkan sistem ekonomi sirkular. Menurutnya, sistem sederhana ini bisa berdampak besar.

"Banyak yang salah kaprah terkait ekonomi sirkular ini. Mayoritas hanya fokus untuk mengelola sampah di tahap akhir saja. Padahal dari tahap produksi, distribusi, konsumsi, masing-masing itu ada sampahnya. Ini yang jarang kita diskusikan dan pahami. Setiap aktivitas kecil pun itu menghasilkan sampah," kata Suci.

"Perbaikan dalam budaya masyarakat ini juga harus didukung dengan perbaikan infrastruktur dan sistem. Jangan sampai ketika masyarakat kita sudah rajin, sudah memilah dan mengurangi sampah, tapi sistem pengelolaannya masih berujung di TPA saja. Jadi memang butuh kerja sama dengan berbagai pihak dan sektor, khususnya masyarakat dan pemerintah," pungkasnya.




(twu/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads