Ini Rute Perang Gerilya Jenderal Soedirman, Mulai dari Yogyakarta ke Pacitan

ADVERTISEMENT

Ini Rute Perang Gerilya Jenderal Soedirman, Mulai dari Yogyakarta ke Pacitan

Fahri Zulfikar - detikEdu
Senin, 03 Jul 2023 20:00 WIB
film Jenderal Soedirman (2015)
Foto: Padma Pictures/Ilustrasi perjalanan perang gerilya Jenderal Soedirman
Jakarta -

Jenderal Soedirman adalah panglima besar yang menjadi penggagas taktik perang gerilya saat Agresi Militer II tahun 1948-1949. Perang gerilya ini dilakukan selama tujuh bulan dengan rute panjang melintasi banyak kota.

Dikutip dari buku "Sejarah Jenderal Soedirman di Kabupaten Bantul" oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul, Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bodas Karangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.

Soedirman berkenalan dengan dunia militer dan perjuangan pergerakan sejak mendirikan koperasi dagang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sikap kejujuran dan jiwa militan Soedirman mengantarkannya menjadi salah satu kader dalam pelatihan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi bentukan Jepang yang didirikan pada bulan Oktober 1943.

Setelah selesai mengikuti pelatihan PETA, Soedirman diangkat sebagai Daidanco (Komandan Batalyon) yang ditempatkan di Kroya, Banyumas. Secara tidak langsung, di sinilah Soedirman telah memulai karier hidupnya dalam dunia militer.

ADVERTISEMENT


Mendirikan Tentara

Karier militernya semakin terlihat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 18 Agustus 1945. Setelah pihak Jepang membubarkan PETA, Soedirman kemudian mengumpulkan para perwira didikan PETA, lalu membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Peristiwa tersebut membuat kondisi negara mulai mengkhawatirkan, karena tentara sekutu masuk ke Indonesia yang diikuti oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Maka tidak mengherankan jika Soedirman membentuk BKR sebagai salah satu bentuk pertahanan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Seiring perkembangannya, istilah BKR yang dibentuk oleh Soedirman itu terus mengalami perubahan hingga empat kali, yakni:

- Pertama, dari BKR (Badan Keamanan Rakyat) menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945.

- Kedua, dari TKR (Tentara Keamanan Rakyat) menjadi TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) pada 7 Januari 1946.

- Ketiga, dari TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada 26 Januari 1946.

- Keempat, dari TRI (Tentara Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada 3 Juni 1947.

Memulai Perang Gerilya: Siasat Melawan Agresi Militer II Belanda

Meskipun Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan, Belanda kembali menyerang. Pasukan tentara Belanda melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.

Mereka melakukan penyerangan terhadap Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia saat itu. Lalu bergerak ke seluruh wilayah Republik Indonesia.

Penyerangan Belanda kala itu dilaksanakan dengan strategi yang sangat rapi, tetapi sulit meraih keberhasilan. Hal ini karena pertahanan TKR dalam menghadapi Belanda juga mempunyai taktik lebih cerdik dengan menguasai medan pertempuran yang dijalani.

Pemerintah Belanda pun menggunakan tipu daya dan kelicikan demi menguasai Republik Indonesia saat Agresi Militer II.

Sampai pada suatu hari, dengan tekad dan keyakinan yang mendalam, Jenderal Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin perang gerilya yang berlangsung selama tujuh bulan.

Perang gerilya dilakukan karena strategi ini memiliki karakteristik perang dengan persenjataan atau kekuatan militer yang minim.

Jenderal Soedirman menggunakan strategi gerilya bersifat non-kooperatif dalam melawan Belanda. Sebab, ia tidak mau menjalin perundingan ataupun kerja sama dengan pemerintah kolonial.

Siasat cerdik ini bukan hanya ide spontan melainkan telah dipikirkan dengan matang. Sebab, strategi gerilya ini memiliki sifat melemahkan, bukan menghancurkan.

Selain itu, dalam strategi perang gerilya berusaha agar serangan mencakup di berbagai daerah seluas-luasnya. Sementara tujuan memperluas serangan agar lawan dapat menyebar pasukannya, sehingga kekuatan mereka menjadi terpecah dan mudah untuk ditaklukkan.

Rute Perang Gerilya Jenderal Soedirman

Berdasarkan rute, perjalanan gerilya Jenderal Soedirman dari Yogyakarta hingga Pacitan merupakan sebuah upaya untuk mengelabui tentara kolonial.

Jenderal Soedirman dan pasukannya berangkat dari Yogyakarta lewat jalur selatan menuju arah timur melewati Bantul, Palbapang, Bakulan, Kretek, Grogol, Parangtritis, Karangtengah, Panggang, Paliyan (Karangduwet), Playen, Siyono, Wonosari, Semanu, Bedoyo, Pracimantoro, Pulo, Karangbendo, Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri, Jatisrono, Slogohimo, Purwantoro, Sumoroto, Ponorogo, Jetis, Sambit, Sawo, Tumpakpelem, Nglongsor, Tugu, Trenggalek, Bendorejo, Kalangbret, Kediri, Sukorame, Karangnongko, Pekso, Krampyang, Bajulan, Salamjudeg, Makuto, Sawahan, Ngliman, Gimbal, Gedangklutuk, Selayang, Serang, Jambu, Wayang, sampai ke Banyutowo.

Di Banyutowo, Jenderal Soedirman bermalam selama lima hari. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan kembali menuju Warungbung, Gunungtukul, Ngindang, ke arah Sawo, Nglongsor, Tugu, Trenggalek, Karangan, Suruwetan, Dongko, Panggul, Sudimoro, Bodang, Nogosari, Gebyur, Pringapus, Gebyur, Wonosidi, Kerto, Wonokerto, Gebyur, Tegalombo, Mujing, Ngambarsari, Sompok, Nawangan, Sobo.

Rute tersebut juga disertai pasukan pengawalan yang melewati jalur yang berbeda.

Kemudian pada saat berada di Sobo, Jenderal Soedirman diminta agar kembali lagi ke Yogyakarta. Hal tersebut kemudian dilakukan dengan rute pulang ke Yogyakarta melewati Tokawi, Tirtomoyo, Baturetno, Pulo, Karangnongko, Ponjong, Karangmojo, Grogol Gati, Gading, Patuk, Piyungan, Prambanan, Maguwo, hingga ke Yogyakarta.

Bukti sejarah rute perang gerilya Jenderal Soedirman dari Yogyakarta hingga Pacitan adalah sebuah monumen 'Panglima Besar Jenderal Soedirman' yang berada di Pakis Baru, Nawangan, Pacitan, Jawa Timur.

Puncak Perang Gerilya

Puncak dari perang gerilya Jenderal Soedirman adalah serangan 1 Maret 1949 yang direncanakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kemudian dikomando oleh Jenderal Soedirman, dan dilaksanakan oleh Letkol Suharto.

Ini menjadi bukti bahwasanya segala komando perjuangan masih berada di pundak panglima besar Jenderal Soedirman.

Perlawanan tersebut membuat Belanda semakin tercengang, karena serangan tersebut memang sengaja dilakukan oleh Indonesia, dan memberi tahu bahwa bangsa Indonesia tidak takut dan masih akan terus berdaulat.

Serangan tersebut adalah tanda bahwa bangsa Indonesia masih ada dan tidak takut dengan segala bentuk penjajahan Belanda.

Bangsa Indonesia siap untuk melawan dan mengusir segala bentuk penjajahan di negara Indonesia dan perjuangan tersebut tidaklah sia-sia, karena serangan tersebut mampu membungkam propaganda yang dibuat oleh Belanda.

Belanda pada waktu itu mengatakan bahwa Indonesia sudah dikuasai, dan intrik-intrik itu merupakan gerakan yang dilakukan oleh pengacau keamanan, bukan dari para pejuang.

Akhirnya serangan tersebut mampu membungkam propaganda yang dilakukan oleh Belanda. Perjuangan tersebut juga menjadi tonggak perjuangan para pahlawan di medan perang karena Belanda dapat diusir kembali ke negeri asalnya.




(faz/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads