Rekonstruksi Wajah Manusia Purba Flores, Seperti Ini Parasnya

ADVERTISEMENT

Rekonstruksi Wajah Manusia Purba Flores, Seperti Ini Parasnya

Novia Aisyah - detikEdu
Jumat, 30 Jun 2023 08:00 WIB
Hasil rekonstruksi wajah Homo floresiensis, kerabat manusia yang tinggal di Flores, NTT belasan ribu tahun lalu
Hasil rekonstruksi wajah Homo floresiensis, kerabat manusia yang tinggal di Flores, NTT belasan ribu tahun lalu Foto: Cicero Moraes/Arc-Team Brazil, Sinop-MT
Jakarta -

Pada 2003 lalu, para arkeolog menemukan sisa-sisa kerangka mirip manusia dalam sebuah gua di Indonesia. Berdasarkan pengamatan lebih mendalam, mereka menyimpulkan kerangka ini milik perempuan.

Kerangka tersebut mempunyai kepala yang kecil dan perawakan pendek, tingginya kira-kira 106 cm. Sebab karakteristiknya yang seperti hobit, para peneliti mengklasifikasikannya sebagai Homo floresiensis, percabangan lebih kecil dari Homo erectus.

Para ahli kini telah membuat perkiraan rupa hobit yang pernah tinggal di Flores 18 ribu tahun lalu itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada saat membuat rekonstruksi wajah, para seniman forensik kerap bersandar pada hasil pindai campuran tulang tengkorak dan data yang dikumpulkan dari tengkorak donor manusia, untuk memposisikan penanda ketebalan jaringan lunak. Proses tersebut akan menghasilkan gambaran umum suatu wajah.

Kendati demikian, karena spesimen mereka kali ini adalah Homo floresiensis, bukan manusia modern (Homo sapiens), tidak banyak tengkorak pembanding yang bisa digunakan. Oleh sebab itu, para ahli membandingkan hasil CT scan tengkorak hobbit dengan hasil scan tengkorak Homo sapiens laki-laki, serta hasil scan tengkorak simpanse (Pan troglodytes).

ADVERTISEMENT

"Kami mengubah bentuk keduanya untuk menyesuaikan dengan struktur H floresiensis dan menginterpolasi data untuk mendapat gambaran bagaimana kira-kira wajah hobbit," kata salah satu peneliti, Cicero Moraes, yang juga seorang ahli grafis, berdasarkan Live Science.

"Tengkorak hobit hampir komplet, hanya kurang bagian kecil di bagian glabella (area di dahi, tepat di antara kedua alis) dan tulang hidung," kata dia lagi.

"Namun untungnya masih memungkinkan untuk menggambarkannya dengan dukungan deformasi anatomi," lanjutnya.

Disebabkan tengkorak spesimen hampir cacat dan digabungkan dengan spesies lain yakni simpanse, maka jenis kelamin dari data pendukung manusia tak lagi penting, kata Moraes.

Para peneliti kemudian membuat dua perkiraan wajah. Rekonstruksi wajah yang pertama adalah gambar hitam putih individu mirip primata dengan hidung lebar. Sementara, rekonstruksi yang kedua adalah gambaran yang lebih dipoles disertai adanya rambut pada wajah.

"Kasarannya, H floresiensi kemungkinan memiliki hidung yang tak semancung manusia modern, daerah mulut sedikit lebih menonjol daripada kita, dan volume otaknya jauh lebih kecil," terang Moraes.

"Tampilan finalnya sangat mengejutkan kami karena saat melihatnya, kami tahu bahwa ada serangkaian kompatibilitas dengan manusia modern, tetapi tidak cukup untuk mengatakannya sebagai bagian dari Homo sapiens," ungkapnya.

Gregory Forth, pensiunan profesor antropologi di University of Alberta yang tak terlibat dalam penelitian ini menilai, perkiraan wajah adalah cara yang bagus untuk membuat masyarakat mampu memahami kerabat purba manusia.




(pal/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads