Desakan untuk terus berperang dan bertahan di medan perang mendorong inovasi untuk urusan perut dan gizi para prajurit.
"Ketika orang berpikir bahwa faktor penting untuk militer, mereka membayangkan teknologi keren, seperti perisai badan, robotika, macam-macam. Bagaimanapun, makanan adalah yang paling penting untuk pejuang perang manapun," kata Esley Long, spesialis perlengkapan Combat Feeding Division, Laboratorium Militer Massachusetts dalam Atlas Obscura.
Berikut makanan dan minuman yang tercipta dari perang.
Asal-usul Makanan dan Minuman Ini dari Perang
Kopi Instan
Kopi instan menjadi minuman pokok bagi prajurit AS di Perang Dunia I saat melawan Jerman. Minuman ini dianggap menjaga energi, kekuatan, keberanian, dan moral karena hangat dan familiar sehingga mengingatkan pada rumah, seperti dikutip dari NPR.
Sebelumnya, tentara memanfaatkan penggiling mekanis dari senapannya. Biji kopi dimasukkan ke ruang kosong untuk karabin, digiling, lalu dikeluarkan, dan dimasak.
Di Prancis, biji kopi kemudian dipanggang dan digiling di pabrik untuk prajurit Amerika di bawah pengawasan cabang tempur Korps Quartermaster AS di sana. Contohnya seperti di pabrik Cafes Labrador di Rue Demidoff Nomor 40, Prancis.
Sebelumnya, Satori Kato, pakar kimia Jepang yang berkarier di Chicago, mematenkan konsentrat kopi dan proses membuatnya pada 1903. Dua tahun sebelumnya, ia berhasil membuat bubuk kopi yang larut dalam air, alias ekstrak kopi yang dikeringkan, alias kopi instan.
Kemudian, imigran Inggris-Belgia di Amerika bernama George Washington memproduksi massal kopi instan dengan embel-embel tanpa minyak dan asam serta baik untuk pencernaan. Kopi instan kompetitor pun muncul. Pihak militer AS lalu menyetok kopi instan dalam jumlah besar seiring terjadinya Great War pada 1917.
Pada 1918, Amerika Serikat tercatat membutuhkan 16,3 ton kg kopi instan per hari. Angka ini jauh dari produksi nasional yang hanya 6.000 ton per hari, berdasarkan Uncommon Grounds, catatan sejarah kopi Mark Pendergrast.
Spageti sampai Semur Kaleng
Prajurit diharapkan makan sekitar 4.600 kalori per hari untuk mengimbangi kegiatan dan tuntutan fisik di perang. Untuk itu, mereka umumnya makan daging kambing atau sapi, kentang, dan roti agar tetap kenyang.
Puding prem dan coklat juga umum di ransum darurat, terutama bagi prajurit yang terjebak di belakang garis musuh. Agar tidak basi, pemerintah AS mengirimkan sebagian besar makanan yang mudah rusak di dalam kaleng, seperti dikutip dari laman National Museum of Health And Medicine.
Proses pengalengan sudah dikenal selama 100 tahun terakhir saat itu. Namun sejak perang, permintaan pengalengan jenis baru makanan murah, berkalori tinggi, portabel, dan tahan lama meningkat tinggi.
Dari situ, bermacam-macam makanan tersedia versi kalengannya. Mulai dari spageti dan ravioli buat tentara Italia, sampai coq au vin (semur ayam) dan boeuf bourguignon (semur daging) untuk tentara Prancis.
Cheetos & Makanan Ringan Keju
Dana militer AS membiayai riset untuk mengurangi kadar air dan volume keju untuk tiap porsi ransum militer. Sebab, pada Perang Dunia II, keju jadi komponen di banyak makanan cabang militer AS, mulai dari roti bakar keju, sayur dan kentang saus keju, dan pasta topping keju.
Di bawah pengawasan peneliti olahan susu USDA George Sander, tim di Quartermaster Corps' Subsistence Research Laboratory mendehidrasi keju dengan tempat pengering, dijadikan balok keju, lalu diolah jadi bubuk keju, seperti dikutip dari laman Pacific Atrocities Education.
Usai perang, sisa stok makanan berkeju yang masih berlimpah dari Korps Quartermaster itu dijual lewat agen federal sementara Surplus Property Administration. Umur simpan yang lama membuat bubuk keju militer menarik bagi perusahaan makanan. Frito-Lay, salah satunya, memanfaatkan bubuk keju untuk melapisi stik olahan jagung sehingga menjadi Cheetos yang digemari se-Amerika Serikat.
Buah Beku-kering
Dokter asal Prancis, Jacques-Arsene d'Arsonval menciptakan teknologi beku dan keringkan (freeze-drying) pada 1906. Teknologi ini semula dimanfaatkan untuk menjaga kesegaran serum darah selama Perang Dunia II. Proses ini kemudian digunakan Natick Labs untuk menyediakan makanan yang lebih ringan dan bisa disimpan di rak tanpa pendingin untuk ekspedisi ruang angkasa NASA.
Pascaperang, proses beku-kering lazim awalnya digunakan untuk mengawetkan materi biologis yang rentan rusak karena paparan panas, seperti dikutip dari laman Institute of Food Technology (IFT) AS.
Teknologi beku-kering ini lalu dimanfaatkan industri makanan pada 1950-an, termasuk untuk memasok makanan seperti buah kering. Proses lyophilization ini menjaga rasa, warna, dan tampilan buah, serta mengurangi potensi kerusakan nutrisi akibat paparan terhadap panas.
Makanan beku-kering umumnya mengandung 1-4 persen kelembapan. Makanan yang disegel nitrogen lalu disimpan di polybag bisa tahan 6 bulan-3 tahun, sementara yang dikalengkan bisa sampai 25 tahun atau lebih.
Kekurangan proses beku-kering yaitu konsumsi energi hampir dua kali lipat dari pengeringan udara konvensional, dan biaya total 8 kali lebih mahal.
Cara mengawetkan makanan dengan freeze drying yaitu membekukan makanan secepatnya. Fungsinya agar tidak terbentuk kristal es yang merusak kualitas produk akhir
Lalu, makanan dikeringkan dengan high vacuum dan sedikit panas agar es menyublim. Tahap ini mengurangi sekitar 95 persen kandungan air di makanan. Prosesnya bisa makan waktu beberapa jam sampai 2 hari.
Tahap selanjutnya yaitu kondensasi uap air yang disublimasi. Lalu, pengeringan kedua dengan suhu lebih tinggi dilakukan untuk menghilangkan molekul air beku yang tersisa.
Spam
Daging kaleng Spam (akronim dari spiced ham atau daging olahan berbumbu) semula diciptakan Hormel Foods Corporation agar kelebihan daging bahu babi tidak percuma pada 1937. Tidak disangka, militer AS membeli 150 juta pon Spam untuk prajurit selama Perang Dunia II.
Spam adalah daging olahan dengan garam, air, gula, dan sodium nitrat. Baru pada 2009, Hormel menambahkan tepung pati kentang untuk mengurangi lapisan gelatin saat dimasak yang dinilai kurang menarik, seperti dikutip dari laman Smithsonian Magazine.
Kelebihan daging kaleng Spam yang tidak perlu masuk kulkas ketimbang pesaingnya saat itu menjadi nilai kompetitif bagi merek ini. Jargon pertamanya yaitu "Dingin atau panas...Spam tetap enak."
Sejak itu, daging olahan merek Spam populer di negara yang sempat ditempati pasukan militer AS, seperti Korea Selatan, Guam, Filipina, Jepang (Okinawa). Spam menjadi bahan makanan lokal seperti nasi goreng Spam dan telur mata sapi khas Filipina Spamsilog, Spam-kentang goreng-kacang di Inggris, dan jadi hadiah hari besar di Korea Selatan.
Terlahir dari perang, Spam kini juga jadi bahan makanan restoran mewah, seperti nasi goreng Spam dengan uni (belut) dan jamur, foie gras dan Spam, dan lain-lain.
Air Fryer
Air fryer merupakan salah satu alat masak yang punya asal-usul dari perang. Mantan kadet Angkatan Laut AS William Maxson menciptakan air fryer 120 volt seberat 17 kg bernama Maxson Whirlwind Oven demi memanaskan makanan lebih cepat, 6 porsi per kloter.
Setelah minat pihak militer surut, Maxson memperkenalkan air fryer ke rumah-rumah di Amerika dan maskapai Pan Am Airways. Teknologi ini sempat ditinggalkan dan dimodifikasi setelah Maxson meninggal pada 1947. Lewat Philips, air fryer jadi tren lagi sejak 2008.
Oven Microwave
Sementara itu, oven microwave tidak sengaja tercipta saat Perang Dunia II. Insinyur produsen pesawat terbang Raytheon bernama Percy LeBron Spencer mengutak-atik radar aktif, aktivitasnya rupanya melelehkan permennya.
Pada 1947, Raytheon merilis oven microwave sebesar kulkas bernama Radarange.
(twu/pal)