Ki Sarino Mangunpranoto adalah sosok politisi sekaligus pendidik. Ia pernah menjabat sebagai menteri pendidikan dalam dua kabinet berbeda. Pemikirannya dalam pendidikan sangat dipengaruhi sang mentor yang juga pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara.
Tokoh ini lahir di Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah 15 Januari 1911. Lulus dari Hollandsch-Inlandsche School(HIS) di Kebumen putra pasangan Nur'ali dan Ridah mengikuti pendidikan guru di Taman Siswa Yogyakarta yang dikenal dengan nama Taman Guru.
"Dengan Taman Siswa saya menemukan rasa dan harga diri," ujarnya dikutip dari artikel Sarino, Guru Masyarakat Bawah karya Abdurrachman Surjomihardjo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekolah guru diselesaikannya pada 1929. Kehidupannya kemudian berlanjut di wilayah pantai utara Jawa. Ia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) yang didirikan Sartono mantan ketua PNI dan membuat kursus politik di Slawi. Kemudian menjadi pamong di Taman Siswa, Pemalang.
Dikutip dari Memoriam: Ki Sarino Mangunpranoto, 1910-1983 karya Anton Lucas yang dimuat dalam jurnal Indonesia (April 1983) terbitan Cornell University Press, rasa nasionalisme Ki Sarino membuat sekolah tersebut menjadi tempat yang aman bagi kelompok-kelompok nasionalis untuk mengadakan diskusi.
Saat Jepang berkuasa dan menutup Taman Siswa, Ki Sarino pindah ke Pati.
Berhenti dari aktivitas belajar mengajar, ia bekerja di koperasi perikanan laut di Juwana dan mengorganisasi gerakan pemuda yang diizinkan pemerintah Jepang.
Berkat perantaraan Soediro yang kemudian menjadi wali kota Jakarta, Sukarno mengangkatnya sebagai pemimpin Barisan Pelopor di Pati. Ia lantas diangkat menjadi wakil residen Pati di masa awal revolusi kemerdekaan dan kemudian residen pada 1947.
Ki Sarino kemudian pindah ke Pekalongan lalu ke Yogyakarta untuk membantu Kepala Biro Kabinet, Suwirjo. Menurut Abdurrachman, nama Mangunpranoto kemudian dipakainya sebagai samaran saat terjadi agresi militer Belanda.
Usai agresi Belanda, ia kembali ke Taman Siswa kemudian mendirikan Taman Madya dan Taman Dewasa di Semarang. Di kota ini juga Ki Sarino aktif dalam politik dan menjadi salah satu tokoh PNI di Jawa Tengah.
![]() |
Anton Lucas menyebut meski Ki Sarino punya ketertarikan kuat dalam politik tapi jiwanya adalah seorang pendidik. "Dia bicara dan menulis soal pendidikan di hampir seluruh hidupnya," tulis Lucas.
Tentu saja filosofi pendidikan yang dipegangnya banyak dipengaruhi konsep-konsep tokoh pendiri Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara.
Ki Sarino kemudian ditunjuk sebagai Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K) dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada 24 Maret 1956-9 April 1957.
Dikutip dari buku "Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan" saat menjadi menteri, Ki Sarino membawa program memperluas dan mempertinggi mutu pendidikan rakyat di sekolah dan luar sekolah, baik jasmani maupun rohani atas dasar kepentingan nasional.
Salah satunya dengan memperluas pendidikan teknik dan ekonomi yang praktis, umumnya pendidikan kejuruan, sesuai dengan kepentingan pembangunan.
Pendidikan kejuruan ini diwujudkannya saat mendirikan Sekolah Farming Menengah Atas di Ungaran, Jateng pada 1961.
Lucas menuliskan pendirian sekolah ini sebagian terinspirasi dari ide Rabindranath Tagore dan Mahatma Gandhi, sebagian lagi dari hasil kunjungan ke sejumlah sekolah kejuruan di Denmark, dan sebagian lagi kesadaran bahwa sekolah formal hanya diarahkan untuk mengisi pekerjaan di perkotaan.
Murid yang masuk ke sekolah yang berlokasi di desa Suwakul itu awalnya diminta untuk mendirikan tempat tinggal sendiri mengadaptasi gaya ashram. Mereka menghidupi diri sendiri dari apa yang mereka tanam.
Menurut Lucas, Ki Sarino percaya model pendidikan tersebut mampu untuk memberantas kemiskinan di pedesaan. Hingga saat ini sekolah yang didirikan Ki Sarino tersebut masih berdiri dengan nama SMK Suwakul (Farming).
Jelang peralihan kekuasaan ke Orde Baru, ia masih sempat memegang jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Kabinet Ampera mulai Juli 1966-Oktober 1967.
Pemikirannya dalam pembaharuan pendidikan dan kebudayaan tercermin dalam salah satu pernyataannya: "Dunia Pendidikan tetap beredar dan harus berputar melalui prinsip "growth and change'. sesuai dengan kodrat alamnja. Kita kembalikan ia kepada alam pikir, bahwa manusia adalah subject guna mentjapai pembangunan mental, spiritual dan material setjara individual. Mendidik harus diartikan memberi kemampuan untuk mengadakan sesuatu bagi keperluan hidupnja (een ieder in staat te maken om iets tot stand te brengen)".
Tak lagi menjadi pejabat negara, ia kembali ke Taman Siswa. Ki Sarino lantas menjadi Rektor Sarjana Wiyata Taman Siswa (kini Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa) menggantikan Nyi Hajar Dewantara yang wafat pada 1970. Ki Sarino wafat pada 17 Januari 1983 usai jatuh pingsan saat jadi salah satu pembicara dalam Munas Koperasi XI di Jakarta.
(pal/faz)