Setiap tanggal 28 April, Indonesia merayakan Hari Puisi Nasional untuk mengenang wafatnya seorang penyair besar Indonesia. Ia adalah Chairil Anwar. Berbeda dengan hari peringatan lain yang diambil dari sebuah tokoh lalu mengacu pada tanggal lahirnya, Hari Puisi Nasional dibuat dalam rangka mengenang.
Mengenang tanggal kematian seorang Chairil Anwar. Hari peringatan ini seakan mendramatisasi sang penyair layaknya unsur drama dalam puisi. Namun selain untuk mengenang Chairil Anwar, Hari Puisi Nasional bertujuan untuk membangkitkan semangat berpuisi masyarakat Indonesia.
Dikutip melalui laman Direktorat Sekolah Menengah Pertama Chairil Anwar adalah seorang penyair yang telah melahirkan 96 karya. 70 diantaranya berbentuk puisi. Dedikasinya di bidang sastra tak main-main, sehingga ia dinobatkan sebagai pelopor di Angkatan 45.
Chairil Anwar lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara dari pasangan Toeloes dan Soleha. Kedua orangtua Chairil berdarah Minangkabau.
Suatu hari di Pangkalan Brandan yang berjarak kira-kira 80 km dari Medan, Chairil yang masih berusia remaja sedang duduk di tangga teras rumah seraya membaca.
Tanpa disadari, sang ibu mendekatinya. "Apa yang kau baca Ni?," ujar ibunya seperti dikutip dari buku "Chairil" karya Hasan Aspahani. Nini merupakan panggilan buat Chairil di rumah. "Layar Terkembang," jawab Chairil.
Tak berapa lama datang beberapa polisi Belanda mendatangi rumah mereka. Polisi menyita buku karya Sutan Takdir Alisyahbana itu dan membawa Chairil ke kantor polisi. Kala itu, polisi kolonial sangat mengawasi peredaran buku-buku bacaan.
Chairil menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah berkurikulum Belanda untuk anak bangsawan dan ambtenar di Medan. Setelah lulus, ia meneruskan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di kota yang sama.
Mengutip Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemdikbud, MULO adalah sekolah yang setingkat dengan SLTP atau SMP. Sayangnya, Chairil tidak menamatkan sekolahnya di MULO Medan dan pindah ke MULO Jakarta.
Tukang Loak Sebelum Jadi Penyair
Tak lama setelah tentara Jepang datang, Chairil Anwar dan ibunya, Saleha, tiba di Jakarta pada Juli 1942. Keduanya menumpang di paviliun tamu kediaman Sutan Sjahrir di Jalan Latuharhari Nomor 19.
Sutan Sjahrir adalah kerabat dekat Soleha. Kelak setelah Indonesia merdeka, Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri. Setelah beberapa hari, dia memberanikan diri menghadap sang paman. Kepada Sjahrir, dia meminjam uang untuk modal berdagang barang-barang bekas.
Dia optimistis, nyonya-nyonya Belanda yang suaminya ditahan Jepang pasti bakal menjual barang-barang milik mereka untuk bekal menyambung hidup.
Sjahrir tak berkeberatan. Bukan cuma kagum terhadap semangat juang Chairil untuk bertahan hidup di Jakarta, tapi Sjahrir juga amat terkesan oleh kemampuan bahasa Inggris dan Belanda ponakannya itu.
"Tapi, kalau di rumah, kami bercakap dalam dialek Banda,"tulis Des Alwi, anak angkat Sjahrir asal Banda, dalam buku Friends and Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement terbitan Cornell University, 2007.
Sjahrir memberi modal 50 gulden. Dalam rencana Chairil, barang-barang bekas yang bisa dibeli untuk dijual kembali adalah sepeda, radio, serta barang pecah-belah dari keluarga Belanda dan Indo-Eropa, lalu dijual kepada orang Indonesia.
Ketika mendapat pekerjaan di Kantor Statistik, menurut Des, Chairil membawa ibunya pindah ke Kwitang. Maklum, gajinya cukup besar, 60 gulden. Meski begitu, jiwa seniman membuat Chairil tak kerasan bekerja kantoran.
Setelah dua bulan, dia tidak mau ke kantor lagi. Kepada Sjahrir, Chairil berdalih tidak bisa berlama-lama bekerja di kantor itu, terutama karena Jepang memelintir angka-angka untuk keperluan propaganda.
Meskipun sudah pindah, Chairil hampir setiap hari singgah ke Jalan Latuharhari untuk makan siang. Sambil menunggu, dia tak pernah lepas dari halaman-halaman buku. Maklum, dia kutu buku.
Ada dua gaya Chairil yang mudah ditebak saat sedang punya uang atau sebaliknya. Dia tipe orang yang royal dan gemar mentraktir bila punya uang, yang ditandai dengan penampilannya yang perlente.
Es krim dan kue yang dia beli di Cikini biasa dia bagikan kepada Des Alwi. Tapi, ketika dia sedang bokek, gaya rambut Chairil tak tersisir rapi dan pakaiannya kotor.
Sosok Chairil adalah anak yang senang membaca buku dan mau terus belajar secara autodidak. Ia giat belajar berbagai bahasa, dari Belanda, Inggris, Jerman hingga akhirnya bisa mempelajari karya sastra dunia.
Dari Medan, ayahnya terkadang mengirimi Chairil uang 30 gulden. Selain untuk membeli buku-buku, Chairil biasa mentraktir Des dan orang-orang di lingkungan rumah Sjahrir menonton film-film Amerika di bioskop. Saleha pun amat memanjakan anak semata wayangnya itu. Tak aneh bila koleksi buku Chairil bertumpuk-tumpuk.
Berkat aneka macam bacaan itulah Chairil tak canggung bergaul dengan siapa saja karena dia selalu punya bahan perbincangan. Ada kalanya dia bercengkerama dengan tukang becak, tukang loak, intelektual, seniman Affandi dan Emiria Sunassa, H.B. Jassin, serta Nursjamsu Mochtar.
Pada masa jayanya, ia dinobatkan sebagai angkatan 45 yang identik dengan pembaharuan puisi Indonesia.
Dibalik nama besarnya, kehidupan sehari-hari Chairil ternyata tidak begitu indah. Rumah tangganya kandas dan ia terkenal hidup susah selama hidupnya.
Chairil Anwar diketahui menikah dengan seorang wanita bernama Hapsah pada tanggal 6 September 1946. Pernikahan itu dikaruniai seorang anak bernama Evawani Alissa yang dipanggil Eva.
Keduanya bercerai tanpa diketahui sebabnya. Eva tinggal bersama ibunya dan pada usia 8 tahun baru mengenal bila Chairil adalah ayahnya.
Sejak perceraian dengan Hapsah, kesehatan Chairil Anwar menurun. Hingga pada tanggal 23 April 1949 ia dilarikan ke rumah sakit di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) karena sakit paru-paru.
Pada tanggal 28 April 1949 Chairil Anwar dikabarkan meninggal dunia pukul 14.30 dalam usia 27 tahun. Jenazahnya dimakamkan pada tanggal 29 April 1949 di Pemakaman Umum Karet, Jakarta Selatan, dengan memperoleh perhatian besar dari masyarakat.
Kiprah Chairil Anwar memang mewarnai dunia sastra di Indonesia. Seperti puisi bertema perjuangan seperti "Aku", "Karawang-Bekasi", dan "Diponegoro".
Selain itu juga ada puisi bertema percintaan dan renungan seperti "Senja di Pelabuhan kecil", "Doa", serta "Selamat Tinggal".
Berikut salah satu puisi Chairil Anwar yang berjudul "Aku":
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari Hingga hilang pedih perih
Dan akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Nah itulah sejarah dibalik Hari Puisi Nasional. Selamat Hari Puisi Nasional detikers!