Memaafkan: Miskonsepsi, Manfaat, dan Bolehkah Tidak Melakukannya?

ADVERTISEMENT

Memaafkan: Miskonsepsi, Manfaat, dan Bolehkah Tidak Melakukannya?

Novia Aisyah - detikEdu
Minggu, 23 Apr 2023 16:00 WIB
Close up cropped image loving tender mother gently touch hands of little daughter kid showing protection support expressing care and love. Child adoption foster and custody, orphan and new mom concept
Foto: Getty Images/iStockphoto/fizkes
Jakarta -

Lebaran lekat dengan momen saling meminta maaf dan memaafkan. Kendati begitu, meniatkan diri untuk benar-benar meminta maaf dan memaafkan bisa jadi tidak semudah melontarkan kata-katanya.

Profesor dan psikolog Bob Enright dari University of Wisconsin, Madison yang merupakan pionir studi tentang pemaafan pada beberapa dekade lalu, mengatakan bahwa memaafkan lebih dari sekadar melepaskan dan beranjak bangkit.

Menurutnya, seperti dikutip dari American Psychological Association (APA), memaafkan yang sesungguhnya membutuhkan empati dan pemahaman terhadap orang yang telah menyakiti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Miskonsepsi Memaafkan

Psikolog dan pensiunan Virginia Commonwealth University, Everett Worthington menjelaskan ada satu pandangan keliru tentang memaafkan, yaitu memaafkan berarti melepaskan orang yang menyakiti kita.

Memaafkan orang lain tidak sama dengan bersikap adil maupun rekonsiliasi. Sebagai contoh, korban kekerasan tidak semestinya melakukan rekonsiliasi dengan pelaku yang masih berpotensi menimbulkan bahaya terhadapnya.

ADVERTISEMENT

Namun, korban tetap memiliki ruang untuk berempati dan memahami. "Apakah saya memaafkan atau tidak memaafkan tidak akan mempengaruhi keadilan yang ditegakkan," kata dia.

Manfaat Memaafkan Orang Lain

Penelitian telah menunjukkan memaafkan berkorelasi dengan hasil kesehatan mental seperti berkurangnya kecemasan, depresi, gangguan kejiwaan mayor, lebih sedikit sakit secara fisik, dan tingkat kematian yang lebih rendah.

Para peneliti telah mengumpulkan cukup banyak bukti tentang manfaat memaafkan.

Loren Toussaint, profesor psikologi dari Luther College dan Worthington mengatakan, memaafkan memungkinkan kita melepaskan stresor interpersonal kronis yang menyebabkan beban yang tidak semestinya untuk kita."

Meskipun penghilang stres itu penting, Enright percaya ada mekanisme penting lainnya di mana pengampunan bekerja dengan ajaib. Salah satunya, menurutnya, adalah kemarahan yang "beracun". "Tidak ada yang salah dengan kemarahan yang sehat, tetapi ketika kemarahan sangat dalam dan bertahan lama, itu dapat merusak kita secara sistemik," katanya. "Ketika Anda menghilangkan amarah, otot Anda rileks, kecemasan Anda berkurang, Anda memiliki lebih banyak energi, sistem kekebalan Anda dapat menguat."

Sementara, dalam satu metanalisis yang dilakukan Yoichi Chida, MD, PhD, kemarahan dan permusuhan berkorelasi dengan risiko penyakit jantung yang lebih tinggi, dan bahkan lebih buruk untuk orang yang sebelumnya sudah punya penyakit jantung (Journal of American College of Cardiology, 2009 ).

Bob Enright dari University of Wisconsin menambahkan, memaafkan membantu membangun kembali harga diri.

Kapan Boleh Tidak Memaafkan Seseorang?

Dijelaskan dalam verywellmind, keputusan untuk memaafkan seseorang seharusnya tidak semestinya digantungkan pada tindakan pelaku tersebut di masa depan. Selain itu, memaafkan seseorang bukan berarti menyetujui tindakan mereka. Seseorang pun tidak perlu memberi tahu bahwa dirinya telah memaafkan orang yang menyakitinya.

Memaafkan seseorang memang baik, tetapi tidak disarankan untuk membiarkan seseorang kembali ke kehidupan kalian jika secara konsisten menunjukkan pola kekerasan. Di samping itu, ada beberapa kondisi di mana lebih baik menunda memaafkan seseorang, yaitu:

1. Jika masih mengalami PTSD (post traumatic stress disorder atau gangguan stres pasca trauma), secara khusus apabila mengalami kekerasan saat anak-anak.

2. Jika seseorang benar-benar merasa bukan berada pada tempat/posisi untuk memaafkannya. Pada situasi semacam ini, tidak apa-apa untuk memberitahu orang yang meminta maaf.

3. Jika memaafkan orang yang menyakiti membuat mereka kembali ke hidup kalian, tetapi membahayakan orang-orang di sekitar kalian seperti anak-anak atau keluarga.

4. Jika orang tersebut menekan kalian untuk melakukan perilaku negatif.

5. Jika orang yang menyakiti tersebut tidak menghormati batasan kalian, misalnya menghubungi setiap saat dan tidak memikirkan kenyamanan kalian.

Sementara itu, pendakwah Ustaz Adi Hidayat menyebutkan fungsi memaafkan adalah memberikan kelapangan jiwa sehingga perasaan akan nyaman dan tenang dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang memaafkan menunjukkan hatinya luas.

"Kalau hatinya luas, Allah akan ganti rumahnya di surga dengan tempat yang lebih luas," kata Ustaz Adi Hidayat saat berceramah dan dikutip dari Kajian Islam Podcast.




(nah/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads