Penelitian Ungkap 'Escargot' Dikonsumsi Sejak Zaman Purba, tapi Siputnya Super Besar

ADVERTISEMENT

Penelitian Ungkap 'Escargot' Dikonsumsi Sejak Zaman Purba, tapi Siputnya Super Besar

Novia Aisyah - detikEdu
Kamis, 20 Apr 2023 14:30 WIB
Kebanyakan orang menabur garam untuk mengusir ular. Faktanya, yang lebih terpengaruh dengan garam bukanlah hewan ular, melainkan 4 hewan berlendir ini.
Foto: Getty Images/BushAlex
Jakarta -

Sebuah penelitian terbaru mengungkap manusia purba sudah memiliki kebiasaan makan 'escargot' sejak sekitar 170.000 tahun lalu. Meski demikian, siput yang dikonsumsi saat itu berukuran jauh lebih besar.

Sebuah tim riset dari Universitas Witwatersrand di Johannesburg, Afrika Selatan, menemukan pecahan cangkang siput darat dari keluarga Achatinidae. Fosil moluska jenis tersebut di Gua Perbatasan, yang berlokasi di tebing dekat Afrika Selatan, berbatasan dengan Eswatini. Siput jenis ini dapat tumbuh hingga 16 sentimeter atau 6,3 inci.

Situs purba tersebut telah digali berkali-kali sejak tahun 1930-an, tetapi selama penggalian yang dilakukan antara tahun 2015 dan 2019, pecahan cangkang siput darat raksasa ditemukan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepingan cangkang yang ditemukan dalam jumlah relatif banyak. Fosil-fosil ini muncul dalam berbagai lapisan sedimen 70.000 hingga 170.000 tahun lalu. Mereka juga memiliki berbagai warna, dari krem yang berkilau hingga coklat dan abu-abu redup.

Menurut tim seperti dikutip dari IFL Science, hewan invertebrata seperti siput membentuk lebih dari 95 persen keanekaragaman hayati, tetapi sering diabaikan dalam penelitian arkeologi. Ini karena mereka dianggap tidak penting bagi pemahaman kita tentang sejarah perilaku manusia.

ADVERTISEMENT

Marginalisme itu diperparah dengan betapa kecilnya jumlah spesimen, yang berarti mereka memiliki peluang lebih kecil untuk bertahan hidup dalam catatan arkeologi. Meski demikian, siput bisa menjadi pengecualian yang berguna karena cangkangnya.

Siput darat dapat muncul di lokasi penggalian karena secara alami terdapat di daerah tersebut. Siput-siput ini mengubur diri di dalam tanah sana untuk menghindari dehidrasi. Bisa juga mereka dibawa ke sana melalui perantara manusia, yaitu untuk dimakan atau cangkangnya dimanfaatkan untuk tujuan yang berbeda (untuk perhiasan atau ritual keagamaan).

Sumber Nutrisi yang Baik

Ada juga penelitian lain yang menunjukkan bahwa konsumsi bekicot dilakukan sekitar 30.000 tahun yang lalu di Eropa dan sekitar 40.000 tahun yang lalu di Afrika. Penemuan ini mewakili kesenjangan besar dalam penelitian, menurut penulis studi Marine Wojcieszak kepada New Scientist.

Para arkeolog menulis, moluska terestrial adalah sumber nutrisi yang sangat baik. Mereka mudah didapat dan tidak berbahaya. Bekicot juga dapat disimpan untuk beberapa waktu sebelum dikonsumsi dan mudah disiapkan serta dimasak selama seseorang mampu menggunakan api.

Mengingat bahwa hominin telah menggunakan api setidaknya selama 400.000 tahun, maka mudah untuk menilai bahwa konsumsi siput oleh manusia purba adalah hal yang memungkinkan. Faktanya, terdapat bukti bahwa manusia telah memanggang ikan lebih dari 780.000 tahun yang lalu.

Guna menguji hipotesis bahwa siput ada di lokasi penggalian karena konsumsi manusia purba, tim mengambil cangkang dari siput darat modern dan memecahnya menjadi beberapa bagian. Fragmen yang memiliki ukuran dan warna yang berbeda tersebut dipanaskan 5 menit hingga 36 jam.

Paparan suhu yang lebih tinggi dan periode pemanasan yang lebih lama mengubah fragmen yang sebelumnya putih menjadi warna yang lebih putih salju. Sementara, sampel krem dan coklat berubah menjadi putih dan abu-abu. Proses pemanasan juga menghilangkan kilap cangkang.

Cangkangnya pun menunjukkan tanda-tanda retak mikro yang ekstrim akibat pemanasan. "Analisis mikroskopis dari cangkang modern yang dipanaskan dan spesimen arkeologi dari Gua Perbatasan menunjukkan bahwa keduanya memiliki fitur yang dihasilkan dari paparan panas, yaitu retakan mikro dan tampilan permukaan yang redup (matte)," kata penulis.

Meskipun ada kemungkinan bahwa cangkang muncul di lokasi melalui perilaku alami siput, seperti menggali ke dalam tanah, tetapi faktor manusia dinilai menjadi penyebab yang paling mungkin. Gagasan ini diperkuat oleh sisa-sisa makanan potensial lainnya, seperti biji dan tulang yang ditemukan di dekatnya, menurut Wojcieszak kepada New Scientist. Terlebih lagi, gua itu sendiri terlalu terisolasi untuk sisa makanan bisa muncul dengan sendirinya.

Studi mengenai konsumsi siput oleh manusia purba ini dipublikasikan di Quaternary Science Review.




(nah/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads