Utas Twitter pengajar Bambang W Nugroho @bambangwn viral sejak Senin (20/3/2023). Bambang menuliskan tentang sang anak yang mengundurkan diri dari pendidikan profesi dokter karena "kemampuan dan minat menjadi dokter sudah lenyap."
Ia menuturkan, sang anak mengalami masalah kejiwaan usai meraih gelar Sarjana Kedokteran hingga menjalani pengobatan dan terapi oleh psikiater. Sang anak juga menunda ikut program co-assistant (co-ass).
Bambang dan keluarga kemudian mengetahui dari terapi tersebut bahwa saat SMP, cita-cita sang anak menjadi penyanyi dipertanyakan gurunya di kelas. Anaknya kemudian memilih berganti cita-cita menjadi dokter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mbok cita-cita itu yang beneran, kayak teman-temanmu tadi lho.. Mosok jadi penyanyi," kata Bambang menirukan guru tersebut, dikutip dari cuitan dengan izin, Jumat (24/2/2023).
Bambang menuturkan, sang anak sudah senang bernyanyi di muka umum sejak TK. Anaknya juga dapat membeli pakaian dan jajan dari menjadi penyanyi di mall dan berbagai acara.
Mendengar perkataan guru dan tawa teman sekelas, anak tersebut tertegun dan menjawab ulang dengan profesi lain. "Saya ingin jadi dokter...," sambung Bambang menirukan anaknya.
"Maaf, kami baru tahu hal ini setelah anak kami bermasalah di kuliahnya, dan di koasnya. Itu dari hasil terapi. Andai kami tahu sejak awal pas dia di SMP, kami pasti sudah antisipasi," kata Bambang yang juga seorang pengajar selama 30 tahun terakhir.
Terkait utas tersebut, Ketua Departemen Kominfo PB PGRI Wijaya, MPd angkat bicara.
"Turut berduka terhadap kondisi putra Pak Bambang, itu yang pertama. Kedua, kita juga memahami bahwa kenapa peristiwa itu terjadi. Dalam konteks ini, posisi guru juga manusia, yang juga ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing," tutur Wijaya pada detikEdu, Sabtu (25/2/2023).
"Ketiga, saya juga menghormati pernyataan beliau yang seorang pendidik juga yang tentu saja mengetahui bagaimana kondisi anaknya sendiri. Dan dengan penggunaan diksi oknum sendiri sudah tepat, tidak menggeneralisir bahwa semua guru adalah pembunuh bakat anak itu sendiri," imbuhnya.
Cita-cita Anak, Guru, Orang Tua, dan Masyarakat
Wijaya menuturkan, guru berperan sebagai fasilitator dan motivator, selain sebagai seorang edukator.
"Tetapi dalam hal ini, guru tidak bisa mendikte, apalagi memaksakan, dalam hal ini si A harus menjadi ini, si B ini. Tetapi, memberikan suatu gambaran tentang kelebihan dan kekurangan suatu profesi, yang nantinya akan dipilih sebagai cita-cita anak itu sendiri. Selain itu juga, memberikan motivasi bahwa semua profesi itu memiliki kelebihan dan kekurangan," jelasnya.
Ia menekankan, setiap anak punya hak yang sama untuk menjadi diri sendiri.
"Karena pandangan yang tepat adalah bahwa setiap anak itu unik, memiliki minat dan bakat sendiri. Dan guru harus bisa memotret itu," sambungnya.
Ia menjelaskan, guru juga turut berperan mengupas profesi di dunia kerja, baik kelebihan dan kekurangannya. Dalam hal ini, minat dan bakat anak digali sehingga anak punya gambaran utuh dan dukungan, baik menjadi dokter, artis, content creator, maupun olahragawan.
"Ada materinya. Di jenjang SMP juga ada. Di SMA juga ada, meskipun porsinya memang lebih banyak itu mengarah ke bukan ruang kelas secara umum atau secara klasikal, tetapi melalui konsul atau pembinaan. Bisa dilakukan oleh wali kelas, bisa juga oleh guru BK, konseling," terangnya.
"Jadi, tidak diperbolehkan mendikte, memaksa, mengarahkan, ke yang tidak sesuai minat dan bakatnya. Ini ada proses instrument test-nya, meskipun hasilnya ada kemungkinan berubah, apalagi dilakukan sejak di taman kanak-kanak, naik ke SD, lalu SMP, mungkin terjadi perubahan," imbuhnya.
Wijaya mengatakan, proses tumbuh kembang anak nantinya dapat memengaruhi perubahan cita-cita anak yang sebelumnya telah ia tentukan. Proses ini meliputi aspek fisik, kemampuan emosional, critical thinking, hingga problem solving.
"Dan juga ada faktor lainnya, tidak bisa dipungkiri, ada faktor keteladanan orang tua, lingkungan sekitar, masyarakat, dan keluarga, termasuk bagaimana ekosistem pendidikan, proses interaksi di ruang kelas. Juga tontonan yang jadi asupan sehari-hari, apakah ada nilai edukasinya. Ini bisa jadi tuntunan, atau malah menjatuhkan, motivasinya,menjatuhkan semangatnya, memupus cita-citanya," sambungnya.
Ia mengatakan, peran orang tua juga penting bagi anak untuk berkomunikasi, memotivasi, dan edukasi terkait keprofesian.
"Sekaligus mendapat informasi tambahan yang lebih banyak, berinteraksi dengan anak itu, adalah orang tuanya. Ada komunikasi, motivasi, dan proses edukasi terkait keprofesian. Jadi tidak diperkenankan untuk mendikte, apalagi memaksakan, atau men-downgrade cita-cita yang telah anak tentukan," ucapnya.
Cita-cita Anak di Masa SMP dan Perubahannya
Wijaya mengatakan, dalam konteks psikologi pendidikan, pertumbuhan dan perkembangan anak di SMP juga berisi upaya dan fase untuk mencari figur dan jati diri, di samping masa angin dan badai saat masuk masa peralihan ke SMA.
Di fase ini, sambungnya, teman, keluarga, sosok inspiratif, dan informasi di media yang tidak didapatkan di jenjang SD kemudian diserap anak sehingga memengaruhi perubahan cita-citanya.
"Jati diri dipengaruhi oleh variabel sekitarnya. Ini bisa dari faktor bacaan, faktor pertemanan, istilah sekarang bestie, ya. Seperti, 'Oh, kamu cita-citanya, saya cita-citanya ini.' Lalu ada kesamaan hobi seperti K-Pop, atau lainnya," kata Wijaya.
Ia menambahkan, proses tumbuh kembang anak juga memengaruhi bagaimana seorang cita-cita dan pribadinya berubah dalam 10-15 tahun ke depan.
"Dalam konteks ini, bukan hanya kasus Pak Bambang. Saya yang belum terlalu lama mengajar, baru 17 tahun, (mendapati) para alumni (mantan siswa) ini di 10-15 tahun berikutnya justru menjadi orang yang bertolak belakang dengan kondisinya ketika di SMP. Itu bukan hal yang aneh. Karena ada proses tumbuh kembang itu, baik dalam kognitif, pengetahuan, psikologisnya, yang dipengaruhi beberapa hal," tuturnya.
Ia mengatakan, perubahan cita-cita anak juga dipengaruhi porsi interaksi dari tiap faktor di atas, maupun peristiwa pemantik yang diingat anak.
"Perubahan itulah yang tidak bisa 'menyalahkan' satu pihak. Gurunya, dalam hal ini di fase dari TK hingga kelas 8, lalu kemudian diketahui bahwa peristiwa itu terjadi, lalu secara kejiwaan berpengaruh terhadap tumbuh-kembang anak itu sendiri, sehingga tidak melanjutkan pendidikan profesi kedokterannya, koasnya, karena tidak sesuai dengan minat atau bakatnya yang sudah diasah sejak lahir," ucapnya.
"Jadi pengaruh itu banyak. Sejauh mana porsinya paling besar. Di lingkungan sekolah, porsinya tidak lebih dari 8 jam. Sisanya, anak berinteraksi di lingkungan masyarakatnya, tempat tinggal, dengan keluarganya. Meskipun, bisa ada peristiwa pemantik yang terekam kuat di memori anak," sambungnya.
Antara Cita-cita dan Profesi
Dalam mewujudkan cita-cita, Wijaya mengatakan, perlu ditekankan bahwa profesi apapun yang sesuai dengan minat, bakat, dan baik perlu apresiasi.
"Cuma, image di masyarakat sekarang, ada pandangan bahwa profesi itu ada klasternya, ada klasifikasi profesi. 'Oh, ini mentereng, ini banyak menghasilkan cuan, uang, ini menjamin hidup dan karier.' Nah ini kan sebetulnya bisa berbasis data atau berbasis perspektif masyarakat dan lingkungan di mana yang bersangkutan beraktivitas. Nah, itu bisa juga memengaruhi," kata Wijaya.
"Ini juga ada faktor dorongan lainnya, misalnya dari orang tua, dari gengsi, atau prestise atas suatu profesi. Nah, inilah pandangan yang perlu dibangun, bahwa profesi apapun, asal sesuai dengan minat dan bakatnya, serta ada penghargaan atas keprofesian yang dilakukan, itu harus dihargai, diapresiasi," sambungnya.
Bagi siswa yang akan menyusun antara cita-cita, minat, bakat, dan memilih prodi di perkuliahan, Wijaya menganjurkan untuk tetap menjadi diri sendiri dan memperbanyak informasi tentang yang ingin dicapai.
"Yang pertama jadilah diri sendiri. Ketahui kekurangan dan kelebihanmu, lalu perbanyak informasi dan pandangan lain terhadap cita-cita yang ingin dicapai. Ikhtiarkan, maksimalkan proses dan serahkan hasilnya pada yang kuasa dalam bentuk syukur. Jadi, jadilah diri sendiri," pungkasnya.
(twu/pal)