Obsesi awet muda dinilai dapat dipengaruhi standar budaya yang terbentuk di masyarakat, utamanya melalui media massa, media sosial, dan iklan-iklan kecantikan.
Hal itu diungkapkan dosen Kajian Media Universitas Muhammadiyah Surabaya, Radius Setiyawan yang membagikan pengetahuannya mengenai obsesi awet muda dan lookism.
Radius menjelaskan, asumsi dasar keinginan tetap awet muda walaupun usia bertambah tua, berangkat dari anggapan bahwa kaum muda lebih menarik, diinginkan, cantik, atau ganteng. Sebaliknya, usia tua dipandang buruk, tidak menarik, dan jelek.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, dari pandangan ini maka muncul penilaian bahwa menjadi tua adalah kondisi yang tidak diinginkan dan harus dilawan melalui usaha keras, bahkan ketika harus mengeluarkan dana relatif besar.
Apa Itu Lookism?
Radius turut membahas obsesi awet muda pada manusia berkaitan dengan lookism atau tampilanisme. Apa yang disebut dengan lookism dipahami sebagai diskriminasi terhadap perempuan ataupun laki-laki yang bersumber dari ekspektasi kecantikan.
Radius menyebut lookism adalah usaha tetap tampil menarik seperti yang dikonstruksikan oleh salah satunya media.
"Diskriminasi tersebut kerap kali terjadi lebih banyak pada perempuan yang merasa dirinya insecure dan anxious jika dia tidak bisa tampil cantik layaknya konstruksi dominan," ujarnya, dikutip dari rilis laman kampus.
Alumnus Magister Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menyebut, tetap tampil menawan, energik di usia matang, memiliki kulit putih, langsing, dan bertubuh kencang adalah kondisi yang sangat mungkin diinginkan banyak orang. Namun, implikasi dari hal ini tentunya bisa mendiskriminasi.
Kondisi yang sangat mungkin diinginkan banyak orang itu menurutnya banyak dijumpai pada realitas masyarakat urban. Banyak dari penduduk kota dikatakan oleh Radius, berusaha menjaga kulit dan tubuh tetap awet muda. Ini pastinya bukan hal mudah untuk dilakukan.
"Orang harus berjuang menjaga pola makan, olahraga, dan mengonsumsi krim antiaging (antipenuaan). Sebuah usaha yang diakui ataupun tidak sebagai sesuatu hal yang menyiksa," imbuhnya. Radius menegaskan usaha untuk mempertahankan penampilan kerap kali mendiskriminasi, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Radius menambahkan, obsesi awet muda adalah bagian dari kompetensi kultural yang dipakai untuk melegitimasi perbedaan sosial. Ini berfungsi untuk membuat distingsi sosial.
"Sehingga bisa tampil muda adalah upaya dari kemampuan untuk mengkonversi kapital ekonomi kepada kapital simbolik. Kekuatan ekonomi yang dipunyai mampu membuat perempuan kelas tertentu memperoleh pengakuan tetap tampil muda," pungkasnya.
(nah/pal)