Tarif Kereta Rel Listrik (KRL) direncanakan akan mengalami perubahan dengan pembedaan berdasarkan status ekonomi penumpang.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan berencana membedakan tarif untuk penumpang dengan status kaya yang harus membayar tarif normal. Kemudian penumpang dengan status ekonomi rentan hingga miskin akan mendapatkan subsidi.
Rencana perubahan ini pun menuai po-kontra dari berbagai kalangan. Tak terkecuali datang dari pakar sosiologi Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Bagong Suyanto, Drs MSi.
Menurut Prof Bagong, penggolongan masyarakat berdasarkan kelas ekonomi sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam penentuan kebijakan publik, terlebih lagi hal itu berkaitan dengan penyesuaian subsidi.
Namun demikian, pemerintah cenderung abai dengan realitas bahwa kelas sosial dan status ekonomi merupakan isu yang sensitif di Indonesia.
"Sebetulnya sudah biasa dalam hal kebijakan dan layanan publik. Artinya, ada kelompok yang membayar lebih tinggi, ada pula yang membayar lebih rendah," ucap Prof Bagong dalam laman Unair dikutip Rabu (4/1/2023).
"Hanya saja, di Indonesia, status sosial-ekonomi masyarakat menjadi isu sensitif. Jadi, kalau dibedakan begitu dengan penggunaan istilah si kaya dan si miskin, mungkin saja bisa menyakiti hati kalangan tertentu," imbuhnya.
Perlunya Pemilihan Kata yang Lebih Bijak
Menurut Prof Bagong, penggunaan istilah 'berdasi', 'si miskin' dan 'si kaya' merupakan hal yang tidak perlu. Tidak heran apabila kebijakan itu menimbulkan berbagai reaksi lantaran penggunaan terminologi atau kata yang kurang tepat.
"Menurut saya, ini perkara terminologi saja. Saya rasa pemerintah itu sebenarnya berpikiran bahwa kelas menengah ke atas bisa membantu kelas yang di bawahnya, tetapi kata yang digunakan memang kurang pas, kurang bijak," jelasnya.
Sebagai tambahan, Prof Bagong menuturkan bahwa pemerintah hendaknya berhati-hati dalam memilih terminologi yang lebih tepat.
Pemerintah perlu lebih bijak mengutarakan maksud dan tujuannya agar tidak memicu kegaduhan masyarakat.
"Saya rasa yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah bisa menyampaikan wacana ini dengan pemilihan terminologi yang tepat sehingga tidak memicu ketersinggungan atau kegaduhan," ungkapnya.
Benarkah Bisa Picu Konflik Sosial?
Berbagai pihak cenderung menyangsikan wacana perubahan tarif KRL tersebut. Tidak hanya dari efektivitasnya, tetapi juga dari aspek sosial, seperti potensi munculnya konflik sosial di masyarakat.
Meski demikian, Prof Bagong beranggapan bahwa kebijakan itu tidak berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.
Dengan status ekonomi yang dimiliki, kelas menengah ke atas sudah seharusnya memahami tujuan dari kebijakan tersebut. Sehingga, hal itu diharapkan dapat menekan terjadinya konflik dan gesekan di masyarakat.
"Kalau memicu konflik saya kira tidak. Saya kira mereka yang dari golongan kelas menengah ke atas itu bukan pihak yang menuntut apa yang telah dibayarkan. Artinya mereka juga harus tahu dan paham arah tujuan kebijakan ini," ujar Prof Bagong.
Lebih lanjut, pemerintah justru perlu waspada terhadap munculnya reaksi berbeda dari golongan masyarakat dengan status ekonomi rentan hingga miskin. Penggolongan masyarakat miskin secara eksplisit dalam tarif KRL ini dikhawatirkan akan menimbulkan rasa sakit hati.
"Justru yang mengkhawatirkan itu perasaan masyarakat miskin jika mereka terekspose seolah-olah statusnya itu membebani. Mungkin harus dicari istilah lain. Atau mungkin juga pembuatan tiket khusus sebagai penanda bagi mereka yang mampu dan kurang mampu," jelasnya.
Simak Video "Pimpinan DPR soal Tarif KRL 'Orang Kaya': Perlu Diperjelas Kriterianya"
[Gambas:Video 20detik]
(nir/faz)