Perang Diponegoro berawal saat Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pihak pemerintah kolonial memasangnya untuk membangun jalan.
Mengutip Arif Cerdas Teman Berlatih dan Belajar SD/MI Kelas 4 yang disusun Tim Arif, rupanya pembangunan jalan tersebut tepat melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Maka, dia pun tersinggung atas kelakuan Belanda itu. Namun, di sisi lain Diponegoro pun sudah muak dengan kelakuan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang tidak menghargai adat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat.
Kerugian Belanda Akibat Perang Diponegoro
Perang Diponegoro terjadi pada 1825-1830. Pertempuran ini adalah salah satu yang terbesar yang pernah dialami Belanda selama pendudukannya di Nusantara. Perang ini terjadi menyeluruh di wilayah Jawa, sehingga disebut Perang Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikatakan dalam Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX oleh A. Kardiyat Wiharyanto, perang Diponegoro berakibat kerugian bagi Belanda dalam bentuk tewasnya 15 ribu tentara yang terdiri dari 8 ribu orang Eropa dan 7 ribu serdadu pribumi.
Biaya untuk perang tersebut tidak kurang dari 20 juta gulden. Perkebunan-perkebunan swasta asing juga banyak yang rusak. Selain itu, kemakmuran rakyat lenyap.
Kembali ke Arif Cerdas Teman Berlatih dan Belajar SD/MI Kelas 4, pada 1827 Belanda menyerang Diponegoro dengan cara menerapkan sistem benteng. Strategi ini membuat pasukan Diponegoro terjepit.
Pangeran Diponegoro meminta agar dilangsungkan gencatan senjata saat bulan Ramadhan 1830 yang disanggupi Jenderal De Kock. De Kock menganggap permintaan itu adalah sebuah bentuk penyerahan diri.
Keduanya bahkan sempat bertemu di Magelang pada awal Maret 1830. Saat itu tidak ada penangkapan. Ternyata Diponegoro enggan tunduk pada Belanda.
Pada akhirnya tanggal 28 Maret 1830 mendesak pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro pun menyatakan kesediaan untuk menyerahkan diri dengan syarat sisa pasukannya dibebaskan.
Diponegoro lantas ditangkap dan diasingkan ke Manado. Kemudian, dia dipindahkan ke Makassar hingga wafat di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1855.
Disebutkan dalam Alam Terkembang Hilang Berganti dan Esai-Esai Lainya karya Chabib Duta Hapsoro, sistem tanam paksa berhasil mengganti kerugian kas pemerintah kolonial Belanda yang diakibatkan oleh perang Diponegoro. Di samping itu, tanam paksa juga menyumbang 70 persen pendapatan Kerajaan Belanda.
Kendati begitu, tanam paksa adalah bencana bagi rakyat. Sistem ini menimbulkan bencana kelaparan dan berbagai bencana sosial karena sebagian besar lahan ditanami tanaman perkebunan. Tanah penduduk jarang ditanami padi dan tanaman pangan lain.
(nah/pal)