HUT TNI: Saat Panglima Pertama RI Pimpin Perang dengan Satu Paru-paru

ADVERTISEMENT

HUT TNI: Saat Panglima Pertama RI Pimpin Perang dengan Satu Paru-paru

Rahma Harbani - detikEdu
Rabu, 05 Okt 2022 16:30 WIB
Jenderal Soedirman di RS Panti Rapih
Potret Jenderal Soedirman di RS Panti Rapih. (Istimewa)
Jakarta -

Tubuh kurus akibat penyakit paru-paru yang diidap Jenderal Sudirman tidak lantas mematahkan daya juangnya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Panglima Pertama Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini bahkan dikabarkan memimpin perang dalam keadaan ditandu.

Perang yang dimaksud adalah Perang Gerilya atau yang juga kerap dikenal sebagai Perang Rakyat Semesta. Perang yang dilancarkan Sudirman ini bertepatan saat pasukan Belanda melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.

Menurut pengakuan Sultan Hamengkubuwono IX pada salah seorang peneliti, ia menghadiri pertemuan dengan Sudirman, sekaligus Presiden Soekarno dan wakilnya, Hatta, sekitar 7 bulan sebelum Belanda datang. Hasil pertemuan tersebut terbagi dalam dua strategi menghadapi Belanda yakni, bergerilya dengan kekuatan fisik dan melanjutkan perjuangan diplomasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga pihak militer sudah sampai pada kesimpulan bahwa Belanda akan menyerang dalam waktu dekat. Sejak itulah rencana mulai dilancarkan dan Sultan Hamengkubuwono IX bertugas menemukan tempat di utara Karesidenan Banyumas untuk dijadikan basis para pemimpin Indonesia dalam bergerilya.

Di samping itu, pasukan yang ada di kota-kota pun berangsur-angsur menempati posisi yang direncanakan. Tidak terkecuali Sudirman yang memaksakan diri untuk turun berperang setelah pada suatu pagi, Belanda mulai melakukan pengeboman di Kota Yogyakarta.

ADVERTISEMENT

"Panglima Besar Sudirman masih dalam keadaan sakit ketika pagi hari Minggu itu Belanda mulai melakukan pengebomannya atas Kota Yogyakarta," kata Sultan Hamengkubuwono IX dalam publikasi Soekarno-Hatta: Melihat Hubungan Persekutuan dan Konflik di Antara Dua Proklamator.

Menurut buku Ensiklopedi Nasional Indonesia terbitan The University of Michigan, lelaki kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah ini didiagnosis positif mengidap tuberkulosis (TBC). Kondisi itu membuat Sudirman harus menjalani frenikotomi atau operasi untuk mengistirahatkan salah satu paru-paru sebelah kanan.

Sambil menanggung rasa sakit, Sudirman memimpin pasukan melakukan Perang Gerilya di atas tandu. Sesekali, Sudirman juga digendong dengan didampingi oleh ajudannya, Kapten Soepardjo Roestam, pengawal bernama Tjokropranolo, dan sejumlah pengawal setia lainnya.

Pagi itu pula, Sudirman datang ke istana kepresidenan untuk mengajak Bung Karno bergerilya. Namun, Bung Karno menolak dan malah menyarankan Sudirman untuk tetap beristirahat serta menjalani perawatan di Yogyakarta.

Sudirman pun membantah dan berkata, "Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah saya. Saya akan meneruskan perjuangan. Met of zonder (dengan atau tanpa) pemerintah, tentara akan berjuang terus."

Salah satu ajudannya, Supardjo Roestam, juga pernah bersaksi saat Sudirman diingatkan soal kesehatannya. Sebaliknya, Sudirman menukas marah dalam bahasa Jawa yang artinya, "Aku sudah bersumpah."

Sumpah yang dimaksud tersebut adalah sumpah jabatan ketika Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar Tentara Republik Indonesia (TRI) atau sekarang dikenal dengan TNI pada 25 Mei 1946.

Usai perang kemerdekaan, kesehatan Sudirman pun kian memburuk karena ketidaksediaan obat dan makanan yang memadai selama berperang. Pria kelahiran 1916 ini pun mengembuskan napas terakhirnya di Magelang pada 20 Januari 1950.

Kesaksian Sang Putri

Didi Suciati, putri ke-3 dari Sudirman bercerita, penyakit paru-paru yang diderita ayahnya memang berat. Namun, beliau tidak pernah menampakkan beban dan rasa sakit tersebut di hadapan keluarganya.

Sebaliknya, Sudirman tetap menjadi figur seorang ayah yang selalu memerhatikan keperluan putra dan putrinya. "Ketika masih hidup, Bapak selalu turun tangan sendiri dalam urusan sekolah kami," kata Didi, dikutip dari Surat Kabar Dharmasena Volume 150 terbitan 1987.

"Meskipun setiap hari beliau selalu dihadapkan kepada kesibukan tugas sebagai pimpinan tertinggi ABRI (sebutan tentara sebelum dikenal sebagai TNI) waktu itu. Maka ketika Bapak wafat, kami sangat kehilangan ketelatenan beliau mengurus kami sampai soal-soal yang paling kecil sekalipun," sambungnya.

Berdasarkan penuturan Pamen Wara/TNI AU Direktorat Sospol Hankam pada tahun 1987 itu, ayahnya menutupi kesehatannya yang kian rapuh dengan selalu menyempatkan diri menanam dan merawat pohon buah-buahan di halaman rumah. Ketika Sudirman mendapat perawatan di rumah sakit, Didi dan saudaranya yang lain tetap tidak melihat tanda-tanda kondisi yang gawat.

Hingga saat Sudirman bergerilya pun, kata Didi, keluarganya masih tidak mengetahui kondisi Sudirman sebenarnya. Saat Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, Sudirman memutuskan untuk melancarkan Perang Gerilya. Ia menitipkan istri dan anak-anaknya ke Mangkubumen menghadap Sultan Hamengkubuwono IX.

"Waktu mendapat berita Bapak sudah kembali dari gerilya, kami sekeluarga ikut menjemput di alun-alun Jogja. Pada saat itulah, kamu baru melihat bahwa ternyata Bapak duduk di atas tandu," ceritanya.




(rah/erd)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads