Sudirman lahir dari keluarga petani di Purbalingga, Jawa Tengah pada 24 Januari 1916. Saat remaja dia bergabung dalam gerakan kepanduan Hizbul Wathan, Muhammadiyah. Dalam organisasi ini Sudirman digembleng jadi pemuda yang disiplin dan tangguh.
Kala Jepang masuk pada 1942, mantan guru sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap ini masuk pendidikan perwira PETA di Bogor lalu kemudian jadi komandan PETA di Kroya. Saat dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada akhir Agustus 1945, Sudirman jadi Kepala BKR di Banyumas.
Adapun Oerip adalah seorang eks perwira Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Putra dari mantri guru dari Sindurejan, Purworejo ini punya pengalaman panjang memimpin pasukan KNIL di berbagai daerah seperti di Kalimantan dan Sumatra.
Oerip sempat menjadi komandan di kota kelahirannya. Pada 31 Agustus 1938 saat upacara hari lahir Ratu Wilhelmina, Bupati Purworejo yang datang terlambat ditolak ketika akan masuk untuk mengikuti acara tersebut. Bupati yang tersinggung melaporkan kejadian ke Departemen Perang di Bandung.
Alhasil, Mayor Oerip dipindahkan ke Gombong. Pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel. Hanya saja, Oerip menolak dimutasi. Ia memilih meninggalkan dinas militer. Berbekal uang pensiunnya, Oerip membeli tanah di Gentan, Yogyakarta dan memilih jadi petani anggrek.
Namanya kembali muncul ketika di Jakarta usaha pembentukan tentara tengah dirancang. Saat Menteri Penerangan Amir Syarifuddin bertemu eks perwira KNIL, Didi Kartasasmita, Oerip digadang-gadang akan diberi tugas mengatur organisasi tentara. Didi pun diutus bertemu dengan para eks KNIL termasuk Oerip untuk menanyakan kesanggupan membantu pemerintah RI.
Saat bertemu dengan Didi di Yogyakarta, Oerip menyetujui rencana pemerintah itu. Oerip berpikir hal itu merupakan kesempatan baik baginya untuk menyumbangkan tenaga bagi negara yang sudah merdeka.
Pemerintah pun mengeluarkan maklumat pendirian tentara nasional yang dikenal dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Sidang kabinet pertama yang digelar pertengahan Oktober pun memberi mandat kepada Oerip untuk menyusun organisasi tentara.
Dikutip dari buku berjudul Oerip Soemohardjo karya Amrin Imran terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada 20 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan pengumuman pengangkatan Supriyadi sebagai pimpinan tertinggi TKR.
Surat tersebut juga mengumumkan Oerip diangkat menjadi kepala staf TKR dan Muhammad Sulyoadikusumo sebagai menteri pertahanan ad interim. Oerip yang saat itu berusia 52 tahun mendapat tugas membenahi organisasi tentara.
Hanya saja Supriyadi yang memimpin pemberontakan PETA di Blitar tak pernah muncul. Hal ini mendorong Oerip segera menggelar pertemuan dengan pimpinan-pimpinan TKR dari tingkat komandan resimen ke atas. Pertemuan itu diadakan sekitar pertengahan bulan November 1945 di Yogyakarta.
Dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas jilid 1 - Kenangan Masa Gerilya, Abdul Haris Nasution menyebutkan acara pokok dari konferensi TKR itu adalah untuk menggariskan suatu strategi TKR untuk menghadapi sekutu. Sebagai ketua pelaksana ditunjuk Mayor Jenderal Kaprawi.
Komandan-komandan TKR yang hadir menyiapkan konsepsi sendiri-sendiri, terutama mengenai masalah pertahanan dan keamanan pada umumnya. Namun, agenda pertemuan berkembang menjadi pemilihan panglima.
Kelemahan Oerip, ia tidak biasa dan tidak bisa berpidato. "Ia sesungguhnya termasuk tipe manusia pemikir yang mengemukakan buah pikirannya kepada seseorang untuk disampaikan kepada orang-orang yang lebih banyak," tulis Amrin Imran.
Hal itu tersebut tampak saat Oerip harus memimpin rapat pertama TKR itu. Tiap-tiap komandan pasukan yang hadir mengemukakan konsepsi masing-masing. Rapat menjadi agak kacau. Semua orang kelihatannya bersemangat. Celakanya, Oerip tidak mampu mengatasi suasana kacau itu.
Eks pejabat PETA Holan Iskandar muncul menginterupsi Oerip. Ia berhasil menguasai sidang. Holan menyatakan tujuan utama dari rapat itu adalah untuk memilih calon untuk menteri pertahanan dan seorang calon untuk Panglima Besar TKR. Hasilnya nanti akan diserahkan pada pemerintah.
Untuk jabatan menteri pertahanan terpilih nama Sri Sultan Hamengkubuwono. Sesudah itu dimulai pemilihan panglima besar. Hanya ada dua nama yang dicalonkan, yaitu Oerip dan Sudirman, Komandan Divisi V/Purwokerto.
Sebelum pemungutan suara dilakukan, terlebih dulu ditentukan peraturannya. Calon yang menang adalah calon yang berhasil memperoleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah suara. Peserta rapat mulanya berjumlah 42 orang.
Setelah Sultan Hamengkubuwono IX meninggalkan rapat, jumlah itu menjadi 41. Dua orang di antaranya, yakni Oerip dan Sudirman tidak akan memberikan suara. Dengan demikian jumlah suara yang harus dihitung tinggal 39. Calon yang berhasil memperoleh sekurang-kurangnya 26 suara, akan dinyatakan terpilih sebagai panglima besar.
Pemungutan suara pun dilangsungkan. Oerip memperoleh 23 suara, Sudirman 16. Dengan demikian persyaratan tidak terpenuhi. Pemungutan diulang. Dalam pemungutan kedua ini Oerip memperoleh 19 suara dan Sudirman 20. Sekali lagi persyaratan tidak terpenuhi.
Sebelum dilangsungkan pemungutan suara untuk ketiga kalinya diadakan istirahat terlebih dahulu. Waktu istirahat ini dimanfaatkan oleh para peserta untuk mengadakan lobi. Peserta-peserta dari KNIL bermufakat untuk memberikan suara kepada Sudirman.
Pertimbangannya adalah bagaimanapun seorang panglima besar harus terpilih. Mereka pun sadar, dalam masa itu Sudirman lebih populer daripada Oerip. Keputusan yang mereka ambil itu disampaikan kepada Oerip.
Dalam pemungutan yang ketiga kalinya, perbandingan suara jauh berbeda. Oerip memperoleh 10 suara, sedangkan Sudirman 29 suara. Sudirman pun dinyatakan terpilih menjadi panglima besar. Menurut Amrin, Sudirman terkejut ketika dinyatakan terpilih menjadi panglima besar. "Saya telah membuat kesalahan karena bersedia dicalonkan", katanya.
Sesudah itu Sudirman mengatakan bersedia menarik diri dan menyerahkan jabatan itu kepada Oerip, jika peserta menyetujuinya, tetapi rapat tidak dapat menerima usul itu. Oerip mendekati Sudirman dan menyalaminya. Ia mengatakan akan membantu Sudirman sekuat tenaganya.
Pada 18 Desember 1945, bertempat di Yogyakarta, Sukarno-Hatta melantik Sudirman sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal. Dalam pidatonya, Sukarno mengatakan,"Kewajiban seorang Panglima Besar bagi kita berat sekali. Ia harus dapat mempersatukan semua kekuatan bersenjata menjadi satu kekuatan yang bulat dan efektif dalam satu komando."
Pada 27 Januari 1946, Presiden Sukarno kemudian mengubah nama organisasi militer menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Kemudian berubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Juni 1947 melalui Penetapan Presiden Nomor 24 Tahun 1947.
Panglima Besar Sudirman Putuskan Bergerilya >>>
Dalam pernyataannya ketika HUT TNI ke-2, Jenderal Sudirman memberi pesan bahwa tentara Indonesia masih menuju kesempurnaan, kekuatan negara. Karena kesempurnaan kekuatan itulah jaminan kepada kemerdekaan. "Kekuatan itulah yang harus kamu jaga, kamu pelihara, jangan sekali-kali lemah, sebab lemahnya kekuatan itu berarti terancamnya kemerdekaan kita."
Saat Belanda melancarkan agresi militer II pada Desember 1948, seluruh pemimpin republik ditangkap. Sudirman mengeluarkan Perintah Siasat Nomor 1 dan memutuskan bergerilya. Diiringi pengawalnya, Soedirman yang dalam keadaan sakit melakukan perjalanan dari Yogyakarta menuju Jawa Timur lalu ke Jawa Tengah.
Sudirman berpindah-pindah daerah menghindari Belanda sekaligus menyusun siasat perlawanan 7 bulan lamanya. Selama bergerilya, Sudirman konsisten menolak perundingan dengan Belanda. Baru awal Juli 1949, Sudirman turun gunung menuju Yogyakarta. Panglima Besar Sudirman akhirnya wafat 29 Januari 1950.
Dalam momentum HUT TNI ke-77, jasa dan perjuangan Sudirman dan Oerip Soemohardjo sebagai peletak dasar organisasi tentara patutlah kembali dikenang.