Setelah 10 tahun dirancang, Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) akhirnya disahkan oleh DPR dan Presiden Jokowi pada 20 September lalu. Adanya UU PDP ini diharapkan bisa menjadi solusi untuk kebocoran data.
Kehadiran UU perlindungan data ini ke depannya bisa menjadi instrumen hukum untuk mengatur secara spesifik perlindungan data pribadi. Belakangan ini tengah marak terjadi kebocoran data pribadi yang justru berasal dari lembaga pemerintah.
Dilansir dari laman resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), UU PDP ini juga turut mendapat perhatian dari peneliti Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, Faiz Rahman. Faiz menjelaskan bahwa inisiasi RUU perlindungan data ini sebenarnya sudah sejak 2012 lalu, namun baru disahkan pada 2022. Dibutuhkan waktu 10 tahun untuk mengkaji RUU PDP hingga akhirnya disahkan sebagai UU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Faiz menyampaikan apresiasinya karena Indonesia akhirnya memiliki landasan hukum sebagai perlindungan data pribadi, kendati menyayangkan pengesahan UU ini terkesan terlambat.
"Di tingkat UU, sudah ada 120 negara di dunia memiliki UU PDP. Kita mungkin masuk ke-127. Di ASEAN sendiri, kita berada di urutan kelima setelah Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand," jelas Faiz.
UU PDP Harus Diiringi Peningkatan Edukasi Literasi Digital
Faiz menilai, UU PDP merupakan upaya pemerintah menjaga dan melindungi data pribadi masyarakat. Namun di samping itu, masyarakat juga harus meningkatkan edukasi literasi digital. Artinya, masyarakat harus paham tentang pentingnya menjaga data pribadi.
"Tingkat literasi digital kita masih sangat rendah. Perlu sosialisasi dari pemerintah untuk mengimbau agar warga masyarakat melindungi datanya, mencegah berbagai kebocoran data pribadi yang dipegang badan publik dalam beberapa tahun terakhir sehingga badan publik sebagai pemangku kepentingan untuk ditingkatkan kesadarannya dalam perlindungan data," beber Faiz.
Lebih lanjut, Faiz mengatakan, pengesahan UU PDP ini sebenarnya bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang merasa dirugikan akibat kebocoran data pribadi. Namun UU ini masih perlu mendapat catatan kritis dalam berbagai bidang.
Faiz menyebutkan, UU ini perlu juga melindungi data bagi kelompok rentan dan termarjinalkan. Sebut saja misalnya data bagi anak dan penyandang disabilitas.
"Perlindungan data bagi anak dan disabilitas. Meskipun data anak sendiri ada perdebatan. Lalu, dihilangkannya jenis data pribadi yang lebih spesifik soal orientasi seksual dan pandangan politik," lanjutnya.
Perlu Adanya Lembaga Pengawas
Meskipun UU PDP telah disahkan, Faiz menekankan pentingnya lembaga pengawas yang bersifat independen. Lembaga pengawas ini menurutnya dapat menempati posisi dan kedudukan yang ditetapkan oleh presiden.
Karena bersifat independen, ia menyarankan sebaiknya institusi ini berbentuk lembaga non kementerian.
"Lembaga pengawas independen sangat penting karena banyak kebocoran data terjadi di lembaga pemerintahan dan tidak sedikit dari lembaga swasta," pungkas Faiz.
(dvs/twu)