Pemakaman Ratu Elizabeth II diwarnai dengan suasana serba hitam pada pakaian para pelayat yang hadir. Tidak hanya itu, termasuk di Indonesia pun, momen berduka di pemakaman biasanya identik dengan warna hitam. Kira-kira, apa alasannya?
Perancang busana Karl Lagerfeld dalam laman Marie Curie berpendapat, warna hitam memiliki makna warna "aman" dibandingkan dengan warna yang lainnya. Maksud dari warna aman di sini artinya tidak terlalu mencolok namun masih terlihat sopan.
Lebih lanjut, upacara pemakamana adalah momen penting dan sensitif bagi keluarga yang tengah berduka. Menurut Lagerfeld, setidaknya warna hitam menjadi bentuk untuk menghormati seseorang yang sudah meninggal tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Lagerfeld mengungkapkan, warna hitam yang dikenakan pelayat secara seragam juga ditujukan agar fokus orang-orang yang hadir berpusat pada momen pemakaman.
"Mengenakan seragam pada pemakaman dapat memiliki efek untuk memusatkan perhatian seluruh pelayat pada orang yang sudah meninggal dunia. Seperti mengenang kebaikannya semasa hidup," kata Lagerfeld.
Warna hitam juga diasosiasikan dengan kematian lantaran dalam bahasa latin, hitam atau ater dikaitkan dengan kekejaman, kebrutalan, dan kejahatan.
Pada dasarnya, sejumlah ahli berpendapat, kebiasaan menggunakan pakaian serba hitam sudah berlangsung lama bahkan sejak Kekaisaran Romawi. Warna hitam menjadi warna resmi untuk melayat pemakaman Ratu Victoria pada 1800 dan menjadi tradisi bagi umat Kristiani negara-negara barat.
Sebab itu pula, asosiasi hitam dengan pemakaman mengakar kuat dalam Katolik Roma dan Kristen.
Sejarah Hitam yang Identik dengan Pemakaman
Mengutip laman Explore Forensics, pada abad ke-2 SM hakim Romawi mulai mengenakan toga hitam, yang disebut toga pulla, untuk upacara pemakaman Ratu Victoria. Kemudian, keluarga Kekaisaran juga mengenakan warna gelap untuk waktu yang lama.
Warna gelap dikenakan hingga memasuki momen perjamuan. Perjamuan ini menjadi penanda berakhirnya waktu berkabung yang dilakukan dengan menukar toga hitam tersebut menjadi toga putih.
Tradisi ini bertahan di Inggris sepanjang abad pertengahan, ketika wanita diharapkan mengenakan topi dan kerudung hitam ketika suami mereka meninggal.
Sejarah lain mencatat, warna hitam diasosiasikan sebagai warna kematian datang dari Jerman.
Melansir CNN Indonesia, orang-orang Jerman dan Skandinavia memiliki kepercayaan menyembah dewi malam bernama NΓ³tt, yang melintasi langit dengan kereta yang ditarik oleh kuda hitam. Mereka juga takut pada Hel, dewi kerajaan kematian, yang kulitnya hitam di satu sisi dan merah di sisi lain.
Meski demikian, pada abad ke-12, pernah ada perselisihan teologis di kalangan para biarawan mengenai penggunaan warna di pemakaman. Para biarawan Cistercian mengenakan pakaian putih dan para Benediktin, yang mengenakan pakaian hitam.
Seorang Kepala Biara Benediktin Pierre the Venerable, menuduh para Cistercian karena dianggap terlalu mencolok mengenakan warna putih, bukan hitam. Hal itu ditepis oleh Pendiri Cistercians Saint Bernard dari Clairvaux yang mengatakan, hitam adalah warna iblis, neraka, sedangkan putih mewakili kemurnian, kepolosan, dan kebajikan.
Untuk itu pula, tidak mengherankan bila di sejumlah wilayah, tidak melulu menggunakan hitam sebagai warna untuk berkabung. Di Kamboja, China, dan suku asli Australia kerap menggunakan warna putih di pemakaman sebagai harapan agar bisa bertemu lagi dengan orang yang meninggal (rebirth).
(rah/nwy)