Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengatakan, gelaran Religion Forum (R20) International Summit of Religious Leader adalah bentuk ikhtiar para tokoh agama dunia menjadikan agama sebagai solusi permasalahan global.
"Forum dialog antartokoh agama dunia ini bakal membahas beberapa agenda penting yang semuanya merupakan ikhtiar menjadikan agama sebagai sumber solusi atas berbagai permasalahan global," kata Gus Yahya melalui keterangan tertulisnya, Rabu (21/9/2022).
Gus Yahya mengatakan, agama bisa menjadi solusi bila agama mampu mendorong nilai-nilai moral dan spiritualnya untuk diresapkan ke dalam struktur politik dan ekonomi global. Dengan hal ini, kata Gus Yahya, dinamika dan perkembangan ekonomi politik akan mengarah kepada peradaban manusia yang diharapkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehingga dunia ini, dalam dinamika ekonomi-politiknya, akan menuju visi membangun kemuliaan peradaban manusia, bukan cuma perebutan dominasi yang ujungnya adalah menghilangkan makna kemanusiaan. Itu akan jadi agenda R20," tutur dia.
Tidak hanya sebagai solusi, forum antartokoh agama dunia ini juga disebut Gus Yahya akan berupaya membuat perumusan agar agama tidak lagi menjadi penyebab dan masalah.
Pasalnya, berdasarkan penuturan Gus Yahya, dialog antaragama sudah berlangsung dan dilaksanakan di berbagai tempat dengan banyak narasumber. Namun, belum ada perubahan positif dan bahkan agama masih kerap menjadi penyebab konflik.
"Dampak positif untuk perubahan yang diharapkan masih belum terasa oleh masyarakat dunia. Alih-alih dunia membaik, agama masih kerap kali menjadi musabab atas banyak konflik yang terjadi," tutur Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa tersebut.
Untuk lepas bagian menjadi musabab permasalahan, Gus Yahya mengatakan, agama menetralisir semua elemen yang mendorong perpecahan maupun diskriminasi antar kelompok. Sebab, elemen tersebut nyata ada dalam wawasan keagamaan masing-masing.
"Ini yang harus dinetralisasi. Kalau perlu dengan cara melakukan rekontekstualisasi terhadap wawasan keagamaan itu sendiri, " terangnya.
Menurutnya, upaya rekontekstualisasi wawasan keagamaan sendiri sebetulnya sudah pernah dilakukan Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II pada 1965. Belum lama ini, pada 2016, Yahudi Masorti juga turut merekontekstualisasi wawasan keagamaan.
Termasuk bagi NU yang juga melakukan hal serupa dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Banjar, Jawa Barat pada 2019.
Gus Yahya menambahkan, pada dasarnya, kelompok-kelompok agama yang berbeda tersebut dapat mengidentifikasi nilai-nilai yang diyakini bersama. Seperti, nilai tentang keadilan, kasih sayang, martabat manusia, dan lainnya.
Pentingnya identifikasi nilai-nilai yang diadopsi bersama ini juga, menurut Gus Yahya, ditujukan agar antarkelompok agama yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan dengan damai.
"Bila perlu, kita lakukan rekontekstualisasi atau mereformasi, meninjau ulang wawasan wawasan yang mapan dengan agama masing-masing, yang menjadi hambatan bagi kontestasi damai," ujarnya.
Gus Yahya memberi satu contoh kasus dalam Islam tentang wawasan status kafir. Menurutnya, hal itu tentu dapat ditemukan pula hal dalam agama lain.
"Setiap agama harus mengadopsi nilai toleransi serta kesetaraan universal di antara sesama umat manusia dalam hal hak dan martabat. Selebihnya, agama-agama tinggal saling menoleransi satu sama lain mengenai perbedaan masing-masing," tukasnya.
R20 sendiri merupakan forum dialog antartokoh agama dunia yang diinisiasi oleh Gus Yahya selaku Ketua PBNU dengan menggandeng Liga Muslim Dunia (Rabithah al-'Alam al-Islami), organisasi yang berbasis di Makkah.
R20 juga merupakan bagian engagement group dari G20. Rencananya, forum dialog ini akan digelar mulai 2-3 November 2022 mendatang di Nusa Dua, Bali.
(rah/erd)