Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen sudah berlangsung satu bulan lebih. Selama itu pula begitu banyak keluhan orang tua murid dari berbagai sekolah di Indonesia-swasta maupun negeri. Keluhannya rata-rata sama, sekolah yang belum menerapkan protokol kesehatan dengan benar hingga sulitnya anak-anak mendapat hak Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) karena terbentur aturan Surat Edaran (SE) Menteri maupun Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri.
Bagi sejumlah orang tua mungkin tidak masalah dengan PTM yang saya anggap tidak aman ini. Tapi saya dan sejumlah orang tua lainnya merasa kebijakan PTM dari pemerintah di awal tahun ajaran baru ini tidak aman untuk anak-anak! Sayangnya suara kami seakan tak terdengar, hilang tertiup angin.
Memang tidak semua sekolah sama seperti sekolah anak-anak kami. Orang tua yang sekolah anaknya mau menyelenggarakan PTM 100 persen yang fleksibel dengan situasi lapangan tentu sungguh beruntung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya termasuk yang setuju dengan PTM 100 persen, tapi saya menginginkan PTM yang aman buat anak-anak dan sesuai aturan. Seperti apa aman yang saya inginkan? Mungkin sama dengan banyak orang tua di luar sana. Aman dalam artian, sekolah bisa menjamin mengikuti aturan yang ada. Menerapkan prokes yang ketat, tranparansi jika ada kasus di sekolah, dan melakukan tracing jika ditemukan kasus. Namun kenyataannya?
Saya pribadi merasakan sedih, kecewa, dan marah, dengan praktik PTM dalam sebulan ini. Tidak tahu lagi harus mengadu ke mana. Berbagai cara sudah saya lakukan selama sebulan ini, dari berkomunikasi dengan wali kelas, komite sekolah, hingga kepala sekolah. Tapi semua nihil!
Semua pihak seperti satu suara menyatakan apa yang diterapkan sekolah sudah sesuai SE maupun SKB 4 Menteri. Miris tapi itulah faktanya, selama pemerintah teguh dengan pendiriannya, saya dan orang tua lain yang senasib seakan dipaksa harus ikut dengan aturan yang membahayakan kesehatan anak-anak kami.
Menteri terkait saja hingga kini tak bersuara, seakan tutup mata, tutup telinga dengan 'teriakan' dan permohonan para orang tua mengenai PTM ini. Tolonglah, turun langsung ke lapangan lihat situasi sebenarnya. Jangan hanya duduk di balik meja!
Adakan Sistem Hybrid
Selama sebulan ini, ketiga anak saya baru seminggu masuk sekolah. Qadarullah saya dan suami tertular COVID-19 di pekan awal sekolah, sekitar akhir Juli. Kemudian anak pertama kami tertular. Akhirnya selama dua pekan, ketiga anak kami tidak bisa sekolah.
Apa mereka bisa PJJ? Tidak bisa, ketiga anak kami yang TK, MI, SMP, hanya belajar sendiri di rumah karena hanya kami orang tuanya yang positif jadi tidak bisa PJJ. Materi sekolah anak-anak diberikan dalam bentuk PPT, atau worksheet yang dikirim ke rumah. Itupun tidak semua guru yang memberikan materinya, jadi saya mengajarinya hanya dari buku cetak.
Setelah 14 hari aman dari COVID-19, ketiga anak kami kembali sekolah. Tapi sayangnya, baru seminggu masuk, anak yang TK tertular batuk pilek di sekolahnya. Kondisi tersebut tentu tidak diperkenankan untuk ke sekolah hingga anak sembuh.
Dua dari tiga anak kami memiliki komorbid, yakni asma. Anak yang TK mengalami asma setelah pernah terkena COVID-19 Februari lalu usai masuk IGD di rumah sakit. Jika anak ini batuk atau pilek, asmanya akan kambuh dan saya tidak mau mengambil risiko dengan membiarkan kakaknya masuk dengan PTM seperti ini.
Namun, kondisi kesehatan anak kami ini tak bisa menjadi bahan pertimbangan sekolah untuk mengadakan pembelajaran sistem hybrid yakni PTM dan PJJ. Sekolah tetap bersikeras, PJJ hanya digelar jika ada anak yang positif sesuai aturan SE/SKB. Tentu itu juga harus mengikuti aturan positivity rate 5 persen.
Berdasarkan cerita sejumlah orang tua, belakangan malah sejumlah sekolah tetap menggelar PTM 100 persen meski ada siswa yang positif. Hanya anak yang kena COVID-19 yang isoman, anak-anak lain tetap PTM tanpa ada pilihan PJJ.
Ada murid yang kontak erat tracing? Itu semua tergantung kebijakan sekolah. Ada yang meminta anak kontak erat (dengan syarat yang berbeda-beda) tes di Puskesmas tapi ada yang diam sehingga orang tua murid yang berinisiatif untuk tes.
Sekolah juga banyak yang diam-diam saja, tidak terbuka dengan data siswa yang COVID-19. Data murid yang COVID-19 seringnya tak disebutkan dengan alasan privacy dan tidak ingin menimbulkan kepanikan.
Tolonglah, adakan sistem hybrid dalam kebijakan SKB atau SE. Itu sangat membantu untuk anak-anak dengan komorbid, keluarga yang komorbid, atau murid yang sedang sakit-yang memaksa mereka tidak bisa sekolah hingga berhari-hari. Mereka ini tidak masuk juga untuk melindungi teman-teman dan gurunya, tapi tak bisa PJJ.
Jika tidak ada pilihan PJJ bagi yang sakit, ini membuka peluang orang tua tetap nekat menyekolahkan anaknya meski sakit. Bayar sama tapi hak untuk PJJ saja tidak dapat!
Dulu, semasa PTMT 50 %, sistem hybrid bisa digelar PJJ dan PTM bersamaan. Mengapa saat ini begitu sulit? Padahal waktu itu sangat membantu anak-anak belajar. Anak-anak ini jika belajar di rumah tentu berbeda rasanya jika ada PJJ, bisa bertemu dengan teman-temannya meski online.
Profil kesehatan anak-anak itu beda-beda, jangan samaratakan! Begitu pula kemampuan akademik anak-anak juga berbeda. Dokter spesialis tumbuh kembang anak saja bilang, PJJ dan PTM bukan yang menyebabkan learning loss. Karena learning loss itu individual, tidak bisa digeneralisir. Kalau anak sebentar-bentar sakit karena kondisi kesehatannya, dan tidak ada PJJ, bukannya itu yang membuka peluang learning loss??
SKB yang ada itu seharusnya bisa dievaluasi dan menyesuaikan dengan kondisi anak-anak di sekolah. Tapi tetap saja digaspol, seakan semua anak mempunyai kesehatan yang sama. Saya dan banyak orang tua lain setuju dengan PTM, tapi tolong sesuaikan dengan kondisi saat ini. Tolonglah pembuat kebijakan agar PTM ini dibuat fleksibel, biarkan orang tua memilih PTM atau PJJ (hybrid).
Sakit Tak Wajib Tes
Dalam SKB 4 Menteri saja disebutkan PTM 100% ini baik untuk perkembangan pelajar. Tapi penerapannya harus dilakukan dengan pengawasan yang tepat oleh pihak berwenang. Nyatanya, selama sebulan ini saya tidak merasakan efek pengawasan. Begitu juga dengan evaluasi di sekolah. Padahal, pengawasan di lapangan itu penting agar sekolah tidak bisa seenak hati mengimplementasikan kebijakan di SE/SKB yang mungkin salah tafsir.
Coba lihat ke beberapa sekolah. Anak-anak muridnya masih saja bergantian izin sakit karena batuk pilek. Sayangnya di ketiga sekolah anak saya itu tidak ada kewajiban tes antigen atau PCR sebelum masuk ke sekolah.
Padahal dalam SKB 4 menteri jelas tercantum, anak yang bergejala seperti COVID-19, entah itu demam, batuk, dan pilek, harus dikonfirmasi tidak COVID. Ya, aturan ini sungguh ambigu tanpa menyebutkan konfirmasi yang dimaksud seperti apa? Seharusnya dicantumkan dengan tegas dengan tes COVID19, sehingga tak salah tafsir.
Apa Dinas terkait tahu dengan kondisi tersebut? Atau memang itu aturan yang disebar ke sekolah dengan hanya meminta siswa sampai sembuh sebelum masuk? Bagaimana kalau itu COVID-19? Kalau satu anak terinfeksi COVID-19 di dalam kelas, ia bisa menularkan ke teman-temannya. Dan teman-temannya ini bisa menularkan lagi ke keluarganya.
Padahal, dalam serumah temannya itu bisa saja terdapat saudaranya dengan komorbid, lansia, atau bahkan bayi dan anak kecil yang belum divaksinasi. Ini saja sudah terlihat, penularan bukannya berhenti tapi makin meluas. Bagaimana bisa berubah jadi endemi?
Tapi dampak tes dan tidaknya itu akan sangat terasa lho. Satu anak dengan gejala COVID-19 yang dites sebelum masuk sekolah, setidaknya akan ketahuan jika memang terinfeksi atau tidak. Kalau terinfeksi tentu akan mencegah penularan lebih banyak lagi. Kalau negatif, alhamdulillah.
Jika tes terasa memberatkan, pemerintah bisa membuat kebijakan lain bukan? Misalnya menetapkan waktu izin anak sakit gejala mirip COVID-19 hingga masa inkubasi selesai yakni 10-14 hari. Namun, waktu izin yang lama ini dapat membuka peluang orang tua meminta anak tetap sekolah meski sakit karena tak ada pilihan hybrid.
Anehnya lagi, dalam kondisi seperti ini, sejumlah sekolah menyelenggarakan acara nginap menginap seperti perkemahan. Padahal itu membuka peluang penularan COVID19. Belum lagi pelajaran musik di sekolah yang mengharuskan siswa membawa alat musik seperti pianika. Untuk pelajaran nada apa harus membawa pianika dan meniupnya di kelas?
Sekolah anak saya memang tidak membolehkan anak meniup pianika di kelas, hanya membawa untuk belajar mengenal nada. Tapi, banyak sekolah lain yang meminta anak meniupnya. Apa tidak tahu, ada penelitian alat tiup bisa menyebarkan virus COVID19? Anak-anak COVID-19 yang OTG atau bahkan sakit namun diam, akan menularkan virus ke teman-teman sekelasnya. Itu semua karena ketidakjujuran dan tak wajibnya tes!
Durasi Sekolah Diperpendek
Masker itu sekarang juga penting dalam menggelar PTM 100 persen yang aman. Sayangnya, aturan masker tidak ketat di sejumlah sekolah. Coba dinas terkait lihat langsung ke berbagai sekolah, jangan hanya melihat sekolah yang ada di Jakarta. Lihat ke sejumlah kota dan daerah lain.
Beberapa sekolah mungkin meminta anak memakai masker, tapi ada juga sekolah yang sudah lepas masker sama sekali. Bahkan seorang ibu bercerita kalau anaknya di-bully karena masih setia memakai masker. Tali maskernya ditarik hingga diejek karena masih saja memakai masker.
Belum lagi durasi sekolah yang sudah kembali seperti sebelum pandemi. Anak TK masuk dari pukul 07.30 hingga 11.00 WIB dan MI 07.20-13.40. Hanya anak SMP saya saja yang pulangnya masih pukul 11.50 WIB.
Durasi yang panjang ini memungkinkan anak TK sekali makan camilan, sedangkan yang MI dua kali makan yakni saat snack time dan makan siang. Semuanya membuka peluang penularan virus karena membuka masker. Padahal ventilasi sekolah zaman sekarang minimalis sekali dan rata-rata ber-AC.
Sama halnya ketika salat zuhur, anak-anak kembali membuka masker untuk berwudhu. Solat berdempetan di musola atau mesjid sekolah. Ehm...tetap tidak menerima, ini membuka peluang penularan COVID19?
Bukannya dalam aturan SKB disebutkan anak-anak selama di sekolah tetap memakai masker? Makan artinya memaksa anak membuka masker, meski mungkin itu hanya sebentar membukanya. Tapi tetap saja virus tak mengenal waktu, selama ada kesempatan akan menularkan. Jadi membuka masker ketika makan itu termasuk melanggar aturan SKB bukan?
Mohon dipertimbangkan lagi, apa tidak bisa durasi dipersingkat? Saya rasa empat jam saja dalam sehari mungkin cukup. Tidak ada ekskul, pramuka, atau menginap. Jadi PTM benar-benar diefektifkan untuk mata pelajaran yang mungkin akan ribet jika online. Sedangkan untuk anak-anak TK, usahakan tidak ada snack time. Anak di sekolah benar-benar tidak membuka masker.
Waktu belajar siswa Indonesia sebelum pandemi saja dianggap yang terpanjang jika dibandingkan dengan negara maju. Sayangnya meskipun belajar terlalu lama, nilai yang diperoleh siswa Indonesia juga masih di bawah sejumlah negara.
Karena itu PTM 100% dengan jam normal di saat ini belum tepat. Saat ini berbeda dengan waktu sebelum pandemi. Memaksakan jam normal pada masa pandemi hanya akan membuat anak bertumbangan satu per satu. Hidup berdampingan dengan COVID19 itu mencoba dengan kebiasaan baru. Bukan memaksa anak kembali ke dalam kehidupan sebelum pandemi dan mengabaikan sejumlah prokes, salah satunya abai dengan masker.
Vaksin Anak Balita, Pemerintah Bungkam!
Anak-anak TK ini belum vaksin lho, tapi mereka ini masuk normal seperti sebelum pandemi. Untuk pakai masker saja anak-anak nggak semuanya tertib. Pada tingkat inilah, anak-anak sering bergantian sakit. Entah karena perubahan cuaca atau memang tertular COVID karena tidak ada kewajiban tes.
Aturan SKB disebutkan anak-anak yang PTM maupun guru sudah divaksin COVID-19, bagaimana dengan anak TK?? Kasihan mereka, belum dipersenjatai tapi dipaksa perang!
Memang Indonesia sudah masuk endemi ya? Jangan lupa, apabila negara ingin berubah statusnya menjadi endemi maka harus stabil positivity rate-nya <1% selama minimal 6 bulan. Indonesia saja sekarang berapa positivity ratenya?
Tolonglah, setidaknya ada rasa sayang kepada anak-anak ini. Orang selalu bilang, anak ini penerus bangsa. Bagaimana bisa menjadi penerus bangsa jika kecilnya saja sakit-sakitan?
Kita pernah merasakan menjadi anak-anak, bagaimana indahnya masa-masa di sekolah. Tapi bagaimana mereka? Sekolah saja dibayangi ancaman terinfeksi COVID-19 dan bagaimana masa depan mereka? Belum lagi ancaman cacar monyet.
Ahli kesehatan sendiri yang mengatakan virus akan terus bermutasi jika penularan tinggi. Dan varian baru ini begitu mudah reinfeksi. Apa jadinya jika satu siswa reinfeksi berkali-kali karena PTM yang kurang aman?
Anak satu kali terinfeksi mungkin aman karena gejalanya ringan, bagaimana dengan penularan selanjutnya? Apa ada yang bisa menjamin anak tersebut akan selamat?
Saya seorang ibu, tapi saya tak tahu harus kemana lagi mengadu selain tak henti-hentinya berdoa. Banyak orang tua yang merasakan sama seperti saya, bagi kami satu nyawa itu berharga.
Kemana saya dan orang tua lain harus bersuara lagi? Sekolah, Menteri, hingga Presiden? Apa mereka mau mendengar? Mereka begitu sibuk dengan perekonomian negara ini. Sampai tidak ada waktu memikirkan masalah PTM ini. Semua bungkam di saat sejumlah orangtua mencari perlindungan untuk anaknya dengan berbagai cara.
Apa harus menunggu beberapa nyawa anak tak berdosa melayang? Apa harus selalu seperti itu, bertindak setelah banyak korban?
Kita pasti sering mendengarkan efek COVID-19 pada anak, yakni long covid atauMultisystem Inflammatory Syndrome in Children(MIS-C). Ini bukan hoax, sayangnya kita minim data, sehingga banyak yang beranggapan semua itu tak terbukti. "Gejala pada anak-anak ringan!"
Gejala long covid dan MIS-C ini paling ditakutkan jika anak tertular COVID-19 meski risikonya hanya 1 persen dari seluruh anak yang terinfeksi. Tapi orang tua tidak bisa memilih anak itu bakal masuk yang 1 persen atau 99 persen.
Saya yakin apa yang disampaikan pakar kesehatan anak tentangLong COVIDdan MIS-Chingga risiko kematian pada anak bukan untuk menakut-nakuti, tapi fakta agar semua orang tua lebih waspada.
Beberapa negara maju mungkin sudah siap dengan sarana dan prasarana pengobatan MIS-C, bagaimana dengan Indonesia? Jangan hanya karena tidak pernah mendengar ada berita tentang kematian anak akibat COVID-19 membuat kita beranggapan COVID-19 itu ringan jadi lupa dengan dampak setelahnya.
Anak adalah titipan Tuhan yang paling berharga, orang tua berusaha menjaga agar anak-anaknya mendapat haknya untuk hidup sehat, selain mendapatkan pendidikan. Kalau memang sudah takdirnya tertular, setidaknya kita sebagai orang tua sudah berikhtiar. Bukan hanya mengatakan, "Kalau sudah waktunya juga bakal kena".
Jika ingin semua berjalan dengan baik, semua pihak yakni sekolah dan orang tua harus sama-sama sadar dan saling jujur. Sakit katakan sakit jangan ditutupi, langkah kecil akan melindungi banyak orang di luar sana.
Silakan jika mencap saya berlebihan, terlalu panik, atau apalah. Selama hampir dua tahun saya menjaga dengan taak prokes, suami saya kerja juga prokesnya ketat, alhamdulillah tak tertular. Saat Februari, hanya anak saya yang bontot yang tertular COVID-19 . Saya tak ingin anak-anak kembali tertular lagi.
Tak ada orang tua yang tidak mendoakan anak-anaknya. Tapi doa tentu tetap harus ikhtiar, dan ini salah satu cara saya ikhtiar untuk mendapatkan hak anak-anak saya dan anak-anak lain. Entah apalagi yang harus saya dan orang tua lain lakukan jika pemerintah masih diam tanpa bersikap.
Anak-anak itu masih sangat bergantung pada orang dewasa di sekitarnya. Karena itu tolonglah kepada pemerintah maupun pihak yang terkait untuk mengawasi PTM 100 % ini agar berjalan dengan aman untuk masa depan yang cerah. Dengarkanlah rekomendasi ahli medis, dalam hal ini IDAI untuk menerapkan PTM 100 % yang aman. Bersuaralah dan bersikaplah yang terbaik untuk anak-anak Indonesia, jangan diam saja! Kami orang tua butuh tindakan nyata agar semua sekolah bisa menyelenggarakan PTM 100 persen dengan aman.
Melly Febrida
Penulis adalah Jurnalis senior, pengamat pendidikan dan anak usia dini
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/erd)