Proklamasi kemerdekaan RI dilaksanakan hari Jumat pada bulan Ramadhan 17 Agustus 1745. Ketika detik-detik jelang proklamasi, pukul 05.00 pagi sewaktu fajar, para pemimpin bangsa beserta para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda.
Mereka yang menyusun teks proklamasi sampai dini hari ini sepakat untuk memproklamirkan kemerdekaan pada pukul 10.00 pagi di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
Namun, sebelum peristiwa bersejarah itu terjadi, ada beberapa kisah menarik seperti para tokoh yang ternyata baru sempat sahur saat jelang subuh dan belum makan sejak meninggalkan Rengasdengklok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kisah Detik-Detik Jelang Proklamasi
Teks proklamasi dirumuskan di ruang makan Laksamana Maeda. Mengutip dari tulisan Dadan Wildan yang dimuat dalam laman Kementerian Sekretariat Negara RI, Laksamana Maeda pada waktu itu mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai dua saat proklamasi disusun.
Orang kepercayaan Mayor Jenderal Nishimura, Miyoshi, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah melihat Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan proklamasi. Sementara, tokoh lain baik dari golongan tua atau muda menunggu di serambi muka.
Pada waktu menjelang subuh dan jam menunjukkan pukul 04.00 pagi, Soekarno membuka pertemuan dengan membacakan rumusan teks proklamasi yang masih dalam bentuk konsep. Soebardjo (1978:109-110) sempat melukiskan suasana saat itu.
Ketika naskah proklamasi diketik, Soebardjo dan kawan-kawan mengambil makanan dan minuman dari dapur yang sudah disiapkan oleh tuan rumah. Pada waktu itu dia dan yang lain masih belum makan apa-apa saat meninggalkan Rengasdengklok. Sementara, waktu untuk makan sahur hampir habis.
Alasan tanggal 17 dipilih untuk proklamasi >>>
Alasan Tanggal 17 Dipilih
Sebelumnya, saat Soekarno-Hatta dibawa ke Rengasdengklok, sebetulnya sempat terjadi perdebatan panas dengan para pemuda di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah sawah. Para pemuda mendesak untuk segera dilaksanakannya proklamasi. Kendati begitu, Soekarno-Hatta kukuh dengan perhitungan can rencana mereka sendiri.
Ketika suasana mulai mendingin, Bung Karno mengawali pembicaraan kembali. Dia menerangkan bahwa yang terpenting dalam sebuah perang dan revolusi adalah saat yang tepat. Disebutkan bahwa Soekarno telah merencanakan semua pekerjaan tersebut untuk dilangsungkan tanggal 17.
"Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik," ucapnya saat berdialog dengan para pemuda, seperti ditulis oleh Lasmidjah Hardi (1984:61), dikutip dari laman Kemensetneg.
Bung Karno berpendapat bahwa 17 adalah angka suci. Tanggal 17 waktu itu adalah hari Jumat, yang mana juga Jumat legi.
"Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Quran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia," tutur Bung Karno.
Soal bagaimana proklamasi diumumkan, sewaktu telah berada di rumah Laksamana Maeda dan rancangan teks siap dibacakan, Sukarni mengusulkan agar rakyat diseru untuk ke lapangan IKADA (menurut Soebarjo, 1978:113). Namun, Soekarno menolak.
Presiden pertama RI itu mengklaim lebih baik proklamasi dilaksanakan di kediamannya. Pekarangan depan rumahnya pun cukup luas untuk ratusan orang.
Dia menegaskan suatu rapat umum yang tidak diatur sebelumnya dengan para penguasa militer bisa saja menimbulkan salah paham. Bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang berniat membubarkan bisa saja terjadi.
"Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi," sanggah Soekarno.