Menguak Makna Lain Prasasti Tugu Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

ADVERTISEMENT

Belajar dari Pakar

Menguak Makna Lain Prasasti Tugu Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

- detikEdu
Rabu, 20 Jul 2022 08:00 WIB
Prasasti Tugu, bukti Kerajaan Tarumanegara. (Dok Situs Kemendikbud)
Prasasti Tugu, bukti Kerajaan Tarumanegara. (Dok Situs Kemendikbud)
Jakarta -

Negara Taruma (Tarumanegara) merupakan kerajaan bercorak Hindu Buda tertua di tanah Jawa, yang dipercaya lokasinya berada di Jawa Barat bagian utara. Kerajaan Tarumanegara eksis tahun 358 - 669 M (311 tahun), yang diperintah oleh 12 orang raja.

Raja termasyur adalah Purnawarman, raja ke 3 yang berkuasa selama 39 tahun (395-434) M. Eksistensi kerajaan Tarumanegara diketahui dari ditemukannya 7 buah prasasti. Ke tujuh prasasti tersebut, 5 diantaranya berada di wilayah Kabupaten Bogor, 1 prasasti di Kabupaten Lebak, dan 1 prasasti di wilayah Bekasi (saat ini masuk wilayah Jakarta Timur).

Salah satu dari 7 prasasti tersebut adalah prasasti Tugu, yang awalnya diketemukan di kampung Batutumbuh, desa Tugu, Kabupaten Bekasi, tepatnya pada
koordinat 6Β°07'45,40"LS dan 0Β°06'34,05" BT di sekitar Simpang Lima Semper sekarang, tidak jauh dari tepian Kali Cakung. Sejak tahun 1976 wilayah ini masuk Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Timur. Ketika ditemukan, prasasti Tugu terkubur di bawah tanah dan hanya bagian puncaknya saja yang terlihat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Prasasti Tugu tercatat pertama kali dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1879. Pada tanggal 4 Maret 1879, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen mengadakan rapat pimpinan yang membahas mengenai penemuan Prasasti Tugu. Dalam rapat tersebut, J.A. van der Chijs mengusulkan agar batu prasasti dipindahkan ke museum. Kemudian pada tahun 1911 atas prakarsa P.de Roo de la Faille prasasti ini dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) serta didaftar dengan nomor inventaris D.124. Sampai dengan sekarang prasasti Tugu tersimpan di Museum Nasional di Jakarta.

Prasasti Tugu merupakan prasasti terpanjang dari semua peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Seperti prasasti yang dibuat pada masa pemerintahan Raja Purnawarman lainnya, isi prasasti ini juga berbentuk puisi anustubh. Para ahli sejarah sepakat bahwa prasasti merupakan sumber rujukan primer. Hal ini karena prasasti dibuat oleh perintah langsung raja yang berkuasa pada saat itu. Pada umumnya prasasti dibuat dari batu keras yang tidak mudah dipalsukan.

ADVERTISEMENT

Pada prasasti Tugu terpahat lima baris pesan yang ditulis menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Berikut terjemahannya: Dulu (sungai yang bernama)
Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan mempunyai lengan kencang dan kuat, (yakni Raja Purnawarman) untuk mengalirkannya ke laut, setelah (sungai ini) sampai di istana kerajaan yang termahsyur. Di dalam tahun ke-22 dari takhta Yang Mulia Raja Purnawarman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji segala raja, (maka sekarang) beliau menitahkan pula menggali sungai yang permai dan berair jernih, Gomati namanya, setelah sungai itu mengalir di tengah-tengah tanah kediaman Sang Pendeta Nenekda (Sang Purnawarman). Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, tanggal 8 paro-petang bulan Phalguna dan disudahi pada hari tanggal 13 paro-terang bulan Caitra, jadi hanya 21 hari saja, sedang galian itu panjangnya 6.122
tumbak (11 km). Selamatan baginya dilakukan oleh para brahmana disertai 1.000 ekor sapi yang dihadiahkan.

Sudah jelas makna pada prasasti tersebut adalah telah selesai dibangunnya sungai Candrabhaga dan Sungai Gomati. Pertanyaannya, apakah kedua sungai tersebut masih ada? Mengapa Purnawarman membangun prasasti di lokasi tersebut? Ada kemungkinan prasasti Tugu merupakan monumen bersejarah dengan dibangunnya proyek besar Sungai Candrabhaga dan Sungai Gomati, seperti halnya monumen proyek Bandungan Saguling atau Cirata. Layaknya monumen tentunya lokasinya tidak akan jauh dari proyek yang telah selesai dibangunnya. Dengan demikian, maka sungai Candraboga dan sungai Gumati bisa ditelusuri tidak jauh dari monumen tersebut. Namun dalam kurun waktu 16 abad pasti sungai tersebut sudah berubah, hingga sulit dikenali pada saat ini. Secara teori, sungai di daerah hilir akan berubah bentuknya, berkelok kelok membentuk pola meandering. Selain itu sungai akan bertambah panjang akibat terjadinya ada pengendapan di wilayah muara.

Kemungkinan lain adalah, prasasti Tugu dibangun sebagai monumen proyek mercu suar. Sebagai monument mercusuar, prasasti Tugu dibangun di pusat ibukota, boleh jadi dekat istana, seperti halnya Monas di Jakarta. Kalau asumsi ini betul, maka ibukota dan istana kerajaan bisa ditelusuri di sekeliling prasasti tersebut. Hal ini juga tidak mudah, mengingat belum ditemukannya artefak-artefak yang mengarah kesana. Bukan hanya tugas arkeolog, tetapi perlu kolaborasi dengan disiplin ilmu lainnya khususnya ilmu kebumian (Geosain).

Kemudian, mengapa prasasti Tugu dibuat dari batu Andesit, sedangkan secara geologi batu Andesit tidak mungkin ditemukan di Jakarta atau Bekasi. Oleh karena itu bisa dipastikan bahwa batu Andesit bahan prasasti Tugu didatangkan dari daerah lain. Batu Andesit merupakan hasil pembekuan magma produk dari gunung api, baik gunung api purba maupun yang masih aktif pada saat ini. Kemungkinan besar batu Andesit diambil dari sekitar Gunung Gede Pangrango atau Gunung Salak di wilayah Bogor yang berjarak 50 - 60 km. Diperkirakan pada abad ke 5 belum ada transportasi darat yang memadai, sehingga masih mengandalkan transportasi air dengan menyusuri sungai Citarum atau sungai Ciliwung atau sungai Cisadane.

Bagaimana batu Andesit diangkut sejauh 50-60 km? Prasasti Tugu berbentuk bulat panjang, memiliki tinggi (T) = 137 cm dan diameter (D) = 80 cm, diperkirakan beratnya hampir 2 ton. Berat yang hampir 2-ton tersebut setelah menjadi prasasti, tentu saja berat sewaktu diambil dari asalnya lebih besar lagi. Untuk itu pasti diperlukan usaha yang besar untuk mengambil batu dari sumbernya, mengangkutnya dengan perahu, dan mengangkatnya ke lokasi yang dituju.

Yatin Suwarno, peneliti pada Pusat Riset Geospasial Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)




(pal/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads