Ketuhanan yang Maha Esa menjadi sila pertama dalam Pancasila. Sila ini dirumuskan melalui proses panjang dan tidak mudah. Bahkan sempat mengalami perubahan.
Pancasila adalah pilar ideologis negara Indonesia. Nama Pancasila sendiri berasal dari bahasa sansekerta yakni Panca yang berarti Lima dan Sila yang berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia
Sesuai dengan namanya, Pancasila terdiri dari lima sila. Setiap sila memiliki sejarah perumusan masing-masing, termasuk sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah sila pertama Pancasila
Dilansir dari situs resmi Universitas Udayana (15/7) gagasan dasar negara tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 ini telah ditandatangan oleh BPUPKI yang dipimpin oleh Soekarno. Pada saat itu sila "Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" tidak dianggap sebagai diskriminasi oleh karena hanya mengikat bagi pemeluk agama Islam.
Bahkan anggota BPUPKI yang beragama Kristen yaitu A.A. Maramis tidak berkeberatan dengan sila tersebut. Namun yang dipikirkan oleh anggota BPUPKI tersebut tidak sama dengan yang pikirkan oleh kalangan masyarakat yang bergama lain.
Rumusan sila pertama itu kemudian diubah melalui sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi rumusan Pancasila yang seperti yang tercantum dalam UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila pertama dianggap diskriminatif
Dikutip dari buku Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa oleh Pandji Setijo menerangkan sebelum mengalami perubahan, sila pertama dari Pancasila ini menuai protes dari pemeluk agama selain Islam. Adalah seorang perwira utusan Angkatan Laut Jepang yang bertemu Bung Hatta pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945.
Perwira itu menyampaikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik yang berada dalam wilayah kekuasaan Angkatan Laut Jepang sangat berkeberatan dengan bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Mereka sadar bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, namun dengan mencantumkan ketetapan seperti itu dalam pembukaan dan dasar berdirinya suatu negara merupakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Dalam buku autobiografi Bung Hatta disebutkan bahwa jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Bung Hatta merevisi bunyi sila pertama
Lewat buku autobiografinya, disebutkan Bung Hatta adalah negarawan yang memiliki keterampilan memahami yang sangat baik. Mendapati ada penolakan terhadap sila pertama dalam Piagam Jakarta tersebut, Bung Hatta kemudian berdialog dengan wakil-wakil dari umat Protestan dan Katolik.
Bung Hatta membuka diri terhadap berbagai kemungkinan makna yang muncul dan berbagai kemungkinan akibat yang muncul di kemudian hari dari sila pertama ini. Bung Hatta menyatakan bahwa kalau Indonesia tidak bisa bersatu, maka bisa dipastikan daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera (tempat domisili penduduk non-Muslim) akan kembali dikuasai oleh Belanda.
Tak lama waktu yang diperlukan oleh Hatta untuk memahami kekhawatiran dari kelompok-kelompok minoritas tersebut. Ia memutuskan untuk membahas masalah tersebus pada sidang PPKI keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945.
Sebelum sidang dimulai, Hatta mengadakan pertemuan pendahuluan dengan 5 anggota PPKI lainya yaitu Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan. Pertemuan itu menyepakati untuk mengganti kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dengan kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Rapat pendahuluan atas inisiatif Bung Hatta itu menyetujui bahwa peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang ke DPR, yang jika diterima oleh DPR maka mengikat umat Islam Indonesia. Rapat itu juga menyepakati bahwa hukum nasional berlaku untuk semua warga negara.
Perbedaan hukum antara penduduk yang beragama Islam atau beragama Kristen hanya akan terdapat terutama dalam bidang hukum keluarga. Sementara dalam bidang hukum perdata lainnya seperti hukum perniagaan dan hukum dagang, berlaku hukum yang setara untuk semua penduduk.
Ketika memasuki sidang pleno PPKI, usulan perubahan yang telah disetujui oleh 5 orang tadi dalam rapat pendahuluan sebelum sidang resmi, kemudian usulan ini disetujui oleh sidang lengkap dengan suara bulat.
Pro-kontra perubahan sila pertama Pancasila
Perubahan sila pertama ini ternyata pernah menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Ada kalangan yang mengemukakan keberatan pada hasil revisi sila pertama Pancasila dan ingin memperjuangkan kembali Piagam Jakarta.
Dilansir dari laman OPOP.JatimProv (15/7) pada 1956-1959 dalam Konstituante, Partai NU bersama partai-parta Islam lain kembali memperjuangkan negara berdasar Islam. Upaya ini tidak berhasil. Ketika Konstituante menghadapi jalan buntu dan ada usul supaya Konstituante mengambil UUD 1945 sebagai UUD hasil produk Konstituante, NU menginginkan tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam sila Ketuhanan.
Akhirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 1945, yang sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada akhir 1984 Muktamar NU ke-27 mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Sikap NU yang didasarkan pada kajian tentang hubungan Islam dan Pancasila yang disusun oleh KH. Achmad Siddiq itu, mengubah secara mendasar peta kepartaian di Indonesia.
Kiai Ahmad Siddiq adalah santri Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. Ormas Islam lain kemudian mengikuti untuk menerima secara resmi Pancasila sebagai dasar negara.
(dvs/nah)