Imam mazhab yang empat telah membahas sejumlah hal yang berkaitan dengan daging kurban. Salah satunya terkait orang yang memakan kurbannya sendiri. Bagaimana hukumnya?
Menurut ketentuan syara' daging kurban harus dibagikan kepada pihak yang berhak menerimanya. Mereka adalah shohibul kurban (pekurban), tetangga sekitar, teman dan kerabat, serta fakir miskin.
Hukum Makan Daging Kurban Sendiri
Ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab mengenai hukum pekurban yang memakan daging kurban sendiri. Mengutip buku Fiqhul Islam wa Adillatuhu Juz 4 karya Prof Wahbah az-Zuhaili, pendapat pertama dikemukakan oleh jumhur ulama (mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali), dan pendapat kedua berasal dari mazhab Syafi'i.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Pendapat Jumhur Ulama (Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali)
Menurut mazhab Hanafi, pekurban boleh memakan daging hewan yang dikurbankan secara sukarela. Adapun, terhadap hewan kurban yang berstatus wajib (disebabkan karena nadzar atau diniatkan untuk itu ketika dibeli), maka haram bagi mereka memakan dagingnya.
Selain itu, diharamkan juga memakan daging hewan kurban yang berasal dari patungan tujuh orang (untuk kurban sapi) jika salah seorang di antara mereka meniatkannya untuk mengqadha kewajiban berkurban sebelumnya.
Sementara itu, menurut pandangan mazhab Maliki dan Hambali diperbolehkan memakan daging daging hewan kurban yang berasal dari nadzar, seperti halnya orang yang berkurban secara sukarela.
Namun, kedua mazhab ini mengimbau agar pekurban memakan, menyedekahkan, dan menghadiahkan daging kurban tersebut.
Dalil mengenai anjuran untuk menyedekahkan daging kurban adalah firman Allah SWT dalam surah Al Hajj ayat 36,
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΨ§ Ω ΩΩΩΩΩΨ§ ΩΩΨ§ΩΨ·ΩΨΉΩΩ ΩΩΨ§ Ψ§ΩΩΩΩΨ§ΩΩΨΉΩ ΩΩΨ§ΩΩΩ ΩΨΉΩΨͺΩΨ±ΩΩΫ...
Artinya: "....maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta..."
Lebih lanjut, dalam pandangan mazhab Hanafi dan Maliki, pekurban boleh--namun dipandang makruh--memakan sendiri seluruh daging hewan kurbannya atau menyimpannya lebih dari tiga hari.
2. Pendapat Mazhab Syafi'i
Dalam hal ini mazhab Syafi'i membaginya ke dalam dua bagian. Pertama, untuk kurban yang berstatus wajib, maka dagingnya tidak boleh dimakan oleh orang yang berkurban maupun pihak lain yang ada di bawah tanggungannya (anggota keluarga yang dinafkahinya). Sebaliknya, mazhab ini mewajibkan si pemilik menyedekahkan seluruh dagingnya.
Apabila hewan kurban itu tiba-tiba melahirkan anak, maka anaknya harus ikut disembelih bersama induknya dan si pemilik boleh memakan daging anak hewan tersebut. Hal ini juga berlaku untuk susu dari induk kurban.
Sementara itu, untuk kurban yang bersifat sukarela, maka dianjurkan bagi orang yang berkurban untuk memakan beberapa potong daging hewan itu dalam rangka mendapatkan keberkahan dari Allah SWT atas kurban yang ia lakukan.
Pendapat ini disandarkan pada firman Allah SWT dalam surah Al Hajj ayat 28, "...Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang yang sengsara dan fakir."
Hal ini juga disebutkan dalam sebuah riwayat al-Baihaqi, bahwa Rasulullah SAW juga pernah memakan hati hewan yang beliau kurbankan. Dalam hal ini, hukum memakan daging kurban miliknya sendiri tidak wajib.
(kri/lus)