Hukum Kredit dalam Islam, Apakah Termasuk Riba?

ADVERTISEMENT

Hukum Kredit dalam Islam, Apakah Termasuk Riba?

Devi Setya - detikEdu
Sabtu, 18 Jun 2022 07:00 WIB
Ilustrasi Kredit Smartphone
Ilustrasi wanita sedang mengajukan kredit online Foto: Dok. Freepik
Jakarta -

Kredit biasanya menjadi pilihan saat ingin melakukan transaksi pembelian barang namun uang yang dimiliki tidak cukup. Kredit memang terkesan memudahkan namun biasanya ada tambahan biaya dari harga aslinya.

Praktik kredit sudah sangat banyak dilakukan, banyak penyedia layanan kredit yang memudahkan siapapun untuk membeli barang kebutuhan. Bahkan saat ini ada sistem kredit online yang semakin mempermudah proses pembelian barang.

Kredit dilakukan dengan cara mencicil atau melakukan pembayaran secara berkala. Namun harga barang yang di-kredit biasanya akan dikenakan biaya tambahan. Lalu, apakah praktik kredit diperbolehkan dalam ajaran Islam?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir dari MUI (17/6) kredit biasanya berkaitan dengan riba. Dalam ajaran Islam tentu saja riba sangat dilarang. Anggota Dewan Syariah Nasional MUI, Hidayatulloh SHI MH menjelaskan definisi riba sebelum kemudian membahas tentang kredit.

Riba secara bahasa artinya ziyadah (tambahan). Dia mengutip Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004, riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (bila 'iwadh) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (ziyadah al-ajal) yang diperjanjian sebelumnya (ini yang disebut riba nasi'ah).

ADVERTISEMENT

Hidayatullah menegaskan, Al quran melarang riba. Hal ini terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 275 dan 278-279, surat Ali Imran ayat 130, dan surat Ar Ruum ayat 39.

Dalil tersebut diperkuat beberapa hadits Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah riwayat Imam Muslim: Dari Jabir RA, dia berkata, "Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya." Dia berkata: "Mereka berstatus hukum sama."

Hidayatulloh menjelaskan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Pria yang juga berprofesi sebagai Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan dalam praktik di bank konvensional, kredit adalah utang piutang yang disertai bunga. Jika persoalan riba sudah ditegaskan keharamannya, persoalan bunga bank adalah masalah kontemporer yang memerlukan ijtihad.

"Kita dapat merujuk kepada beberapa keputusan ulama internasional antara lain Majma'ul Buhuts al-Islamiyyah di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965, Majma' al-Fiqh al-Islamy negara-negara Organisasi Kerjasama Islam yang diselenggarakan di Jeddah 10-16 Rabi'ul Awal 1406 H/22-28 Desember 1985 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 yang menetapkan keharaman bunga bank," jelas Hidayatulloh.

Menurut MUI, praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi'ah. Dengan demikian, praktik pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya. Oleh sebab itu, praktik pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan individu.

Diperbolehkan kredit dalam Islam, Asal...

Diperbolehkan kredit dalam Islam, Asal...

Menurut Hidayatulloh, dalam ajaran Islam, kredit atau utang diperbolehkan dengan syarat tidak ada ziyadah (tambahan). Maka dikenal istilah qardh (utang piutang) yang termasuk akad tabarru' (tolong menolong).

"Namun akad qardh ini sulit atau bahkan tidak dapat diimplementasikan di lembaga keuangan syariah karena tidak boleh ada keuntungan, sedangkan lembaga keuangan syariah adalah entitas bisnis yang bertujuan mendapatkan keuntungan dan membutuhkan biaya operasional," ujar dia.

Ustadz Hidayatulloh juga mengatakan setelah terbitnya fatwa keharaman bunga bank, para ulama bersama ahli ekonomi merumuskan konsep ekonomi berdasarkan prinsip ajaran Islam, maka lahirlah bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pasar modal syariah, koperasi syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya.

Istilah kredit tidak ada di zaman Rasulullah SAW

Istilah kredit tidak muncul di zaman Nabi Muhammad SAW sehingga tidak ada hadits yang mengatur hukumnya. Namun jika merujuk fatwa MUI, fatwa Al-Azhar, dan OKI, para ulama menyatakan bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang-piutang, al-qardh; al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT.

Dikutip dari buku Ada Apa Dengan Riba? karya Ammi Nur Baits, Rasulullah SAW dari Abu Hurairah RA, dia berkata, "Rasulullah bersabda, "Akan datang kepada umat manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya, ia akan terkena debunya." (HR An Nasa'i).

Itulah penjelasan terkait kredit dalam Islam, semoga menjadi pengetahuan bagi kita. Dibandingkan kredit, alangkah lebih baik jika mulai menabung hingga terkumpul uang yang cukup untuk membeli barang impian.


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads