Ramadan tahun ini sangat berbeda dari dua tahun sebelumnya. Kali ini, Ramadan dirayakan ketika dunia sudah menggeliat, manusia-manusia berusaha keluar dari jebakan pandemi menuju era baru kehidupan new-normal.
Saya menikmati Ramadan di Inggris tahun ini dengan suasana gembira. Pemerintah Inggris telah mencabut semua protokol kesehatan terkait Covid pada 30 Maret 2022 lalu. Setelah lebih dari 1,5 tahun pemerintah menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat, saat ini semuanya bebas untuk beraktifitas dan situasi kembali normal.
Pemerintah Inggris memang serius untuk mendorong vaksinasi agar tercapai lebih 80% dari jumlah penduduk di dataran Britania Raya. Pelbagai program dilaksanakan, baik dengan menyediakan layanan gratis vaksinasi melalui klinik-klinik kesehatan dan rumah sakit, hingga sosialiasi ke sekolah, kampus dan ruang-ruang publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga dengan mudah mendapat informasi vaksinasi, yang tersedia di website yang gampang diakses. Kampanye vaksinasi juga satu pintu melalui NHS (National Health Service) yang serempak. Bahkan, pihak NHS juga bekerjasama dengan pelbagai pengelola rumah ibadah dan komunitas antar agama untuk vaksinasi.
Ini langkah yang menarik dari pemerintah Inggris. NHS menggelar vaksinasi di gereja, sinagog, masjid, gurdwara serta tempat ibadah lain. Saya sendiri mendapat giliran vaksinasi di the Sing Sabha Gurdwara, Southampton. Di tempat ini, saya dilayani para pemuda penganut Singh yang menjadi volunteer di program vaksinasi.
Nah, karena pemerintah Inggris sudah mencabut protokol kesehatan terkait Covid, maka pemeluk agama boleh melaksanakan ritual dan mengadakan perkumpulan dengan komunitas besar. Masjid-masjid kembali meriah selama Ramadhan ini. Buka puasa, tarawih berjamaah dan pelbagai kegiatan charity diberlangsungkan.
Ini berbeda dengan dua tahun terakhir, yang menjadi Ramadhan hening. Masjid-masjid dan rumah ibadah lain masih ditutup, warga terkurung di rumah karena peraturan pemerintah. Pesta makan-makan hanya dengan keluarga inti, tidak boleh lebih dari 7 orang.
Maka, Ramadhan pasca pandemi kali ini, menjadi berkah tersendiri. Keceriaan hadir, kemeriahan untuk menikmati Ramadhan menjadi lebih terasa. Apalagi, merayakan Ramadhan di Inggris yang jauh dari sanak famili di Indonesia.
Untunglah, masjid-masjid di Southampton, kota tempat saya bermukim, membuka pintu lebar-lebar. Saya dan keluarga menikmati petualangan untuk buka bersama dengan warga muslim lintas negara yang tinggal di Inggris. Dua masjid terbesar di Southampton, Medina Central Mosque dan Abu Bakr Mosque, menyediakan menu buka bersama yang sedap.
Kedua masjid ini dikelola komunitas muslim yang mayoritas berasal dari Pakistan-India. Menu nasi biryani dan kari ayam khas Pakistan sangat menarik dinikmati, menggoyang lidah. Apalagi, chef yang memasak betul-betul khusus untuk sajian buka puasa, dengan olahan daging yang empuk.
Saya menikmati betul buka puasa menu nasi biryani, yang rasanya jauh lebih lezat dari resto-resto biryani di sejumlah titik di Jakarta. Kombinasi bumbu yang pas dan olahan daging kambing yang empuk, mungkin menjadi pembeda. Nasi biryani ini juga dilengkapi dengan roti dan kare ayam yang tak kalah nikmat.
Komunitas-komunitas muslim di Inggris selama Ramadhan ini saling berlomba untuk berbagi kebaikan, menebarkan ajaran Islam ramah. Tentu, campaign ini untuk mengedukasi publik sekaligus cara efektif untuk melawan Islamophobia di Inggris dan negara-negara Barat lain. Beberapa aktifis muslim, juga membentuk OpenIfthar, sebuah komunitas yang mengelola buka puasa bareng di tempat-tempat publik di beberapa kawasan di London, Cambridge, Oxford dan kota-kota lain.
Ramadhan untuk semua agama
Selain petualangan kuliner buka puasa di masjid yang lezat, saya juga menemukan makna tersendiri dari silaturahmi dengan warga muslim lintas negara. Seringkali, ketika menghadiri buka bersama, pengajian dan shalat jamaah, saya mendapat kawan baru dari muslim Eropa Timur dan Afrika.
Selain itu, komunitas muslim dari Pakistan-India-Bangladesh, yang jauh lebih banyak dan lebih dulu settle di Inggris. Mereka sudah puluhan tahun bermukim di Inggris, sebagai bagian dari penduduk kawasan Commonwealth yang mendapat keistemewaan bekerja di kawasan Inggris Raya.
Pengalaman berinteraksi dengan warga muslim lintas negara ini, meningkatkan keyakinan saya tentang kosmopolitanisme Islam. Betapa, menjadi muslim kosmopolitan, yang terbuka dengan perbedaan, terbuka pada keragaman, menemukan relevansinya. Islam sejatinya memang agama yang kosmopolit, yang memungkinkan interaksi antar komunitas global terjadi, tanpa saling menegasikan identitas. Ini keragaman yang indah.
Selain pengalaman dengan sesama muslim, Ramadhan juga mempertemukan saya dengan saudara-saudara non-muslim. Di setiap Ramadhan, beberapa masjid di Inggris juga membuka pintu bagi warga non-muslim untuk ikut buka puasa bersama. Ini sangat menarik, karena mengenalkan Islam dengan wajah yang sejuk: bahwa Ramadhan sejatinya juga untuk warga semua agama.
Dalam pertemuan terakhir di Masjid Abu Bakr Southampton, saya bertemu dengan Rabbi Yahudi dan Pendeta Kristen yang datang secara khusus pada agenda buka bersama. Wakil dari City Council Southampton juga mengapresiasi momentum buka bersama yang merekatkan warga lintas agama. Sesuatu yang indah, bukan? (*).
Munawir Aziz
Penulis adalah Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/erd)