Kenalan Dengan Pathological Liar Si 'Hobi' Berbohong

ADVERTISEMENT

Kenalan Dengan Pathological Liar Si 'Hobi' Berbohong

Nikita Rosa Damayati Waluyo - detikEdu
Kamis, 07 Apr 2022 15:46 WIB
Business man carrying white mask to his body indicating Business fraud and faking business partnership
Ilustrasi pembohong. Foto: Ilustrasi/thinkstock
Jakarta -

Apakah kamu pernah bertemu dengan seseorang yang terus melakukan kebohongan tanpa motif tertentu? Jika pernah, orang ini bisa disebut sebagai pathological liar atau pembohong patologis.

Nido Dipo Wardana SPsi MSc selaku dosen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan pemahaman antara orang awam dan para tokoh psikologi atau psikiatri terkait fenomena satu ini.

"Yang penting untuk dipahami dari pembohong patologis adalah orang yang berbohong tapi tanpa ada sebab yang jelas kenapa mereka berbohong," papar Nido dalam laman resmi Unair, Rabu (6/4/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia melanjutkan bahwa fenomena pembohong patologis harus dibedakan dari bentuk-bentuk kebohongan lain yang sama-sama kronis namun memiliki motif yang jelas di balik kebohongannya.

"Ada bentuk-bentuk pembohong kronis lainnya yang juga suka berbohong tapi motifnya bisa kita identifikasi," ujar Nido.

ADVERTISEMENT

Apa Penyebab Pembohong Patologis?

Alumni University of Gronigen Belanda itu mengatakan bahwa penyebab seseorang menjadi pembohong patologis belum diketahui secara pasti karena fenomena ini belum banyak dikaji secara ilmiah.

Namun, dari sudut pandang biologis, Nido menjelaskan bahwa terdapat perbedaan cara kerja otak pada orang dengan kebiasaan berbohong patologis utamanya di bagian otak depan.

"Hal ini menyebabkan seorang pembohong patologis kurang mampu mengendalikan impuls [dorongan] untuk melakukan kebohongan," ujarnya.

Nido menambahkan, dari sudut pandang psikologis, seseorang dengan kebiasaan berbohong patologis kerap kali ditemui pada individu yang memiliki harga diri rendah.

"Kadang-kadang, konten kebohongan yang dia buat itu adalah bentuk dari semacam ideal self-nya," tegas Nido.

Akibat kebiasaan berbohong, pengidap pembohong patologis rentan mengalami stres. Hal ini disebabkan karena mereka mendapat tuntutan untuk terus berbohong demi mempertahankan kebohongan sebelumnya.

"Itu semacam rantai yang susah diubah sehingga secara komitmen memberatkan individu karena harus berpikir keras untuk fabricating informasi yang tidak benar," ujar pengajar di Unair ini.

Selanjutnya, Nido menegaskan bahwa mengingat masih minimnya studi mengenai fenomena pembohong patologis, belum diketahui pasti apakah pengidap pembohong patologis dapat pulih dari kondisinya atau tidak.

"Kalau misalnya kita tempatkan pembohong patologis di posisi yang sama dengan gangguan kompulsif, maka asumsinya adalah bisa dibantu untuk menghilangkan kebiasaan ini. Tentu saja dengan terapi serta mungkin nantinya bisa dikembangkan medikasi dan segala macam," jelas Nido.

"Tetapi, untuk pastinya ini perlu riset yang mendalam lagi," lanjutnya.

Nido mengatakan bahwa untuk menghadapi orang pengidap pembohong patologis, ia menyarankan agar tidak menghadapinya dengan konfrontasi penuh.

"Coba konfirmasi (informasi dalam kebohongannya, -red) kemudian dibantu untuk melihat bahwa mereka sudah sering berbohong. Bisa diajak berpikir gimana (solusi, -red) selanjutnya," tutup dosen psikologi UNAIR itu.




(row/row)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads