Pawang hujan adalah profesi yang menjadi bagian dari tradisi Indonesia. Masyarakat biasa meminta tolong pada pawang hujan, jika ingin mengadakan hajatan atau acara besar yang melibatkan orang banyak.
Profesi ini diharapkan bisa menahan atau memindahkan hujan, sehingga acara bisa berlangsung tanpa gangguan. Tradisi pawang hujan memiliki beragam nama dan ritual di tiap daerah. Berikut penjelasannya
A. Tradisi pawang hujan di beberapa daerah
Di wilayah Banten, tradisi terkait profesi pawang hujan ini disebut Nyarang Hujan. Hasil riset UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten menyatakan, pawang hujan melakukan ritual sebelum melakukan tugasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ritual terkait pawang hujan ternyata beragam. Ada yang memulainya dengan berziarah ke makam leluhur yang dianggap memiliki kemuliaan, seperti yang dilakukan pawang di wilayah Cimanuk, Pandeglang, Banten.
Pawang hujan lain mengawalinya dengan bertawassul ke hadirat Nabi SAW, Khulafa Ar Rasyidin, nabi-nabi terdahulu, para Aulia dan lelulur. Dilanjutkan membaca surat pendek seperti yang dilakukan pawang di Bunut Gunung Putri, Banjar, Pandeglang, Banten.
Tradisi pawang hujan juga ditemukan di Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Berdasarkan hasil riset yang diterbitkan UIN Sumatera Utara, jasa pawang hujan digunakan demi kelancaran sebuah acara.
Kehadiran pawang hujan dianggap dapat membawa kesuksesan sebuah acara dan mampu mengendalikan cuaca. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa pawang hujan dapat menjadi jalan pereda kecemasan orang yang mempunyai hajat.
B. Media yang digunakan pawang hujan
Umumnya pawang hujan akan meminta sejumlah bahan-bahan untuk keperluan ritual menahan atau memindahkan hujan. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
- Kaleng bir untuk minum makhluk halus penggeser hujan.
- Rantang nasi dan payung hitam.
- Sapu lidi bekas lengkap dengan bawang merah dan cabai merah.
- Garam yang dimasukkan dalam mangkuk.
- Paku
Jasa pawang hujan tidak hanya digunakan dalam acara hajatan/pernikahan saja. Dikutip dari detikJabar, pada Konferensi Asia Afrika (KAA) 18-24 April 1955 silam, Presiden Soekarno turut menggunakan jasa pawang hujan dalam pertemuan tersebut.
Pawang hujan yang dititahkan Bung Karno kala itu bernama Abah Landoeng. Ia menceritakan, KAA saat itu berlangsung di musim hujan. Atas ikhtiarnya tersebut akhirnya acara berlangsung lancar dan tidak ada hujan.
(kri/row)