Sejarah Imlek di Indonesia, Berubah Sejak Zaman Gus Dur

ADVERTISEMENT

Sejarah Imlek di Indonesia, Berubah Sejak Zaman Gus Dur

Trisna Wulandari - detikEdu
Minggu, 30 Jan 2022 19:00 WIB
Suasana lampion di Singkawang menjelang Imlek
Sejarah perayaan imlek di Indonesia. (Wahyu Setyo Widodo/detikTravel)
Jakarta -

Imlek adalah penanggalan lunar yang ditetapkan pada masa dinasti Han di China. Sistem kalender ini mengawali tahun di musim semi, yang dinilai cocok untuk masyarakat agraris China. Perayaan imlek dimulai sekitar abad ke-5 M.

Tradisi merayakan imlek yang dikenal di Indonesia saat salah satunya berkat gerakan reformasi pada 1998, setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Sebab, hidup dan berkembangnya budaya etnis Tionghoa di Indonesia seiring dengan perkembangan politik, seperti dikutip dari buku Ringkasan Umum Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Indonesia oleh Olivia S.E., M.A.

Penerapan dan perayaan budaya Tionghoa sempat dihentikan dan tidak boleh berkembang sepanjang zaman Orde Baru, yang berlangsung 32 tahun. Saat itu, pemerintah menetapkan bahwa Tahun Baru Imlek tidak boleh diperingati secara terbuka di ruang publik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut perjalanan sejarah imlek di Indonesia dari masa ke masa hingga menjadi hari libur nasional.

Sejarah Imlek di Indonesia

1. Datang bersama orang China

Pakar ketimuran Denys Lombard mencatat, Asia Tenggara banyak disebut di naskah-naskah di China sejak abad ke-3 Masehi. Saat itu, orang-orang China bermigrasi ke berbagai wilayah di Asia Tenggara untuk berdagang, salah satunya ke nusantara

ADVERTISEMENT

Kedatangan orang China saat itu berdampak pada perkembangan sistem kongsi, teknik kemaritiman, sistem moneter, teknik produksi, dan budidaya berbagai komoditas di Indonesia, seperti gula, padi, tiram, udang, gara, dan lain-lain. Migrasi orang China ke nusantara di awal Masehi ini turut membawa budaya perayaan Imlek ke tengah masyarakat.

2. Imlek masa Presiden RI pertama Soekarno

Pada masa Soekarno, warga Tionghoa dihadapkan dengan identitas kewarganegaraan, antara memilih tanah leluhur dengan tetap jadi warga negara Republik Rakyat China yang baru berdiri, Republik China di Taiwan di bawah partai Kuomintang, atau jadi warga negara Republik Indonesia yang masih mencari bentuk negara dan identitas kebangsaan, seperti dikutip dari Ragam dan Prospek Hubungan Antarwarga Indonesia-Tiongkok yang disunting Paulus Rudolf Yuniarto, PhD dan Thung Ju Lan, PhD.

Terlepas dari kondisi tersebut, Soekarno menetapkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat beragama No.2/OEM-1946 yang salah satunya menyoal hari raya orang Tionghoa, segera setelah kemerdekaan Indonesia.

Di pasal 4 peraturan tersebut, ditetapkan 4 hari raya orang Tionghoa. Keempatnya yaitu Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu pada tanggal 18 bulan 2 Imlek, Ceng Beng, dan hari lahirnya Khonghucu pada tanggal 27 bulan 2 Imlek. Lewat peraturan tersebut, Hari Raya Tahun Baru Imlek Kongzili ditetapkan sebagai hari raya Agama Tionghoa.

Orang-orang Tionghoa saat itu juga bisa berekspresi secara bebas, seperti berbahasa Mandarin, bahasa lokal, memeluk agama Konghucu, punya surat kabar berbahasa Mandarin, menyanyikan lagu Mandarin, dan memiliki nama China. Sekolah, toko, restoran, dan bengkel bisa memasang plang bertulisan Mandarin.

3. Pelarangan Imlek masa Presiden RI kedua Soeharto

Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina pada 6 Desember 1967. Instruksi tersebut menetapkan seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Karena itu, perayaan imlek saat masa Soeharto umumnya tidak dilakukan, atau berlangsung tersembunyi.

Aturan ini berlaku segera setelah Soeharto melarang Partai Komunis dan ajaran Komunis. Aturan ini berimbas pada pelarangan kebudayaan Tionghoa di tengah masyarakat, pelarangan bahasa Mandarin, Hokkien, dan Hakka, tidak diakuinya agama Konghucu, dan pembekuan hubungan diplomatik dengan China. Kaset musik China juga dilarang.

4. Imlek kembali pada masa Presiden RI keempat Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967 pada 17 Januari 2000. Pencabutan aturan ini menjadikan masyarakat Tionghoa mendapatkan kebebasan lagi untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya.

Pencabutan Inpres tersebut juga memungkinkan warga Tionghoa untuk merayakan upacara-upacara agama seperti imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya secara terbuka. Kemudian pada 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.

Hari libur fakultatif adalah hari libur yang tidak ditentukan pemerintah pusat secara langsung, melainkan oleh pemerintah daerah setempat atau instansi masing-masing. Contoh libur fakultatif lainnya yaitu Hari Raya Deepavali untuk umat Hindu.

Perayaan Imlek sebagai hari libur nasional kelak diterapkan pada era Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002. Masyarakat Tionghoa saat itu dalam masa transisi menjalani kembali perayaan imlek di ruang publik tanpa rasa takut setelah pelarangannya berlangsung 30 tahun. Imlek sebagai hari libur nasional bertahan hingga hari ini.




(twu/row)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads