PPKS Tuai Pro dan Kontra, Ini Penjelasan Pakar Unair

ADVERTISEMENT

PPKS Tuai Pro dan Kontra, Ini Penjelasan Pakar Unair

Anatasia Anjani - detikEdu
Jumat, 12 Nov 2021 14:00 WIB
Gerakan Perempuan Anti Kekerasan (Gerak Perempuan) menggelar aksi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Senin (10/2/2020). Aksi tersebut digelar dalam rangka menuntut Kemdikbud untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Aksi yang digelar dalam rangka menuntut Kemdikbud untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus pada Senin (10/2/2020). (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta -

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menerbitkan dan mengeluarkan peraturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.

Namun dikeluarkannya PPKS menuai pro dan kontra dari beberapa pihak salah satunya yaitu anggapan tentang melegalkan zina.

Menurut Dosen Hukum Universitas Airlangga (Unair) M. Hadi Subhan, tentang tuduhan melegalkan zina, menurutnya ada kesalahan dalam menafsirkan kata tanpa persetujuan korban. Ia menjelaskan dalam kacamata hukum, persetujuan korban berarti tanpa hak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hadi menegaskan tidak ada korelasi antara PPKS dengan anggapan free sex ataupun zina.

"Tidak bisa diartikan kalau korbannya mau 'disentuh' berarti boleh dan itu zina. Konsepnya adalah meskipun saling setuju tetapi tidak memiliki hak secara norma hukum agama, etika, dan hukum ya tetap saja tidak boleh melakukan," kata Hadi mengutip dari laman Unair, Jumat (12/11/2021).

ADVERTISEMENT

PPKS sendiri dibuat karena maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika terus dibiarkan, hal tersebut dapat berdampak pada kurang optimalnya pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi.

Sedangkan, polemik lainnya mengenai PPKS adalah anggapan bahwa Kemendikbud Ristek tidak berwenang membuat aturan karena tidak adanya aturan yang lebih tinggi mengenai PPKS.

Hadi menjelaskan jika di dalam Pasal 8 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 tertulis suatu lembaga bisa membuat peraturan atas dasar dua hal, yaitu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau karena menjalankan urusan yang menjadi kewenangannya.

"Jadi, meskipun UU PKS sendiri masih digodok oleh DPR, namun secara aspek formal Kemendikbud Ristek sebagai penanggung jawab pendidikan tinggi tetap berwenang membuat peraturan PPKS," terang Hadi.

Ia juga menjelaskan jika pihak kampus hanya dapat memberikan sanksi pelaku kekerasan seksual berupa hukuman administratif.

"Kalau misalkan mau menghukum pelaku secara pidana itu menjadi kewenangan korban untuk melapor pada pihak terkait, karena hukum pidana sudah menjadi urusan negara. Dalam hal ini, kampus hanya bisa melakukan hukuman berupa DO atau hukuman administratif lainnya," kata Hadi.

Hadi berpendapat, PPKS merupakan titik terang sebagai upaya preventif dan settlement kepada korban yang mengalami kekerasan seksual.




(atj/lus)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads