Dalam penulisan karya ilmiah, latar belakang dituliskan pada bagian pendahuluan untuk menarik perhatian pembaca sekaligus menyediakan informasi dasar terkait studi yang dikerjakan. Lalu, bagaimana contoh latar belakang karya ilmiah yang baik?
Berdasarkan pengertiannya, latar belakang adalah penjelasan singkat mengenai topik atau objek penelitian, serta penjabaran alasan topik yang dipilih penting untuk dibahas. Mengutip Modul Pelatihan Teknis Penyusunan Karya Tulis Ilmiah oleh Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pegawai Kemendikbud, penulisan latar belakang dapat memuat penjelasan fenomena aktual tentang teknis, sosial, atau kultural yang penting untuk diulas dan dikaji beserta dengan alasan ilmiah yang didukung acuan pustaka.
Poin Penting dalam Latar Belakang
Dalam buku 99 Cara Mudah Menulis Karya Ilmiah yang ditulis oleh Niknik M. Kuntarto dan Hendar Putranto, ada empat komponen yang harus diperhatikan dalam menulis latar belakang, yaitu
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Terdapat gejala tentang permasalahan yang akan diteliti atau diulas,
2. Ada relevansi dan intensitas pengaruh masalah yang diteliti terhadap aspek ilmu (sosial, ekonomi, budaya, politik, seni, agama) disertai dengan akibat yang ditimbulkan,
3. Memiliki keserasian pendekatan metodologis yang digunakan,
4. Memiliki gambaran kegunaan hasil penelitian.
Sementara itu, berdasarkan Modul Diklat Perencanaan Pendidikan: Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Kemdikbud dan beberapa sumber lainnya, poin-poin yang harus ada dalam latar belakang, meliputi:
1. Penjelasan gejala/konsep/fenomena yang terjadi terkait dengan masalah yang akan diteliti.
2. Pemaparan fakta dan data yang kredibel untuk mendukung masalah penelitian.
3. Argumentasi pentingnya penelitian dilakukan.
4. Metode yang digunakan dalam karya ilmiah.
5. Tujuan dan manfaat karya ilmiah.
Contoh Latar Belakang Karya Ilmiah
Contoh 1
Topik Karya Ilmiah: Pentingnya pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Latar Belakang
Isu sentral yang kerap kali mewarnai pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah rendahnya hasil belajar siswa. Diduga rendahnya hasil belajar tersebut merupakan suatu kesalahan berantai yang terjadi tidak hanya pada siswa, tetapi juga pada proses pembelajaran yang dilakukan guru.
Menurut para ahli, menguasai IPA dapat mempertajam cara berpikir logis siswa. Penguasaan IPA yang baik akan membuat cara berpikir siswa lebih sistematis. Oleh karena itu, pelajaran IPA perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius.
Dari hasil pra-tindakan, ditemukan sekitar 65% siswa memiliki prestasi belajar rendah terhadap materi IPA, khususnya standar kompetensi memahami prosedur ilmiah untuk mempelajari benda-benda alam menggunakan peralatan. Para siswa belum memahami bagaimana:
1) Mendeskripsikan besaran pokok dan besaran turunan beserta satuannya,
2) Mendeskripsikan pengertian suhu dan pengukurannya,
3) Melakukan pengukuran dasar secara teliti dengan menggunakan alat ukur yang sesuai dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Lemahnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep di atas diperkirakan terjadi karena terbatasnya strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembelajaran yang menekankan kebermaknaan dengan cara mengaitkan materi pada konteks alam nyata. Pembelajaran dengan cara tersebut dapat dilakukan dengan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).
Sumber: Modul Diklat Perencanaan Pendidikan: Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Kemdikbud.
Contoh 2
Topik Karya Ilmiah: Strategi mengajar matematika menggunakan video.
Latar Belakang
Dalam pedoman penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMP, dijelaskan tujuan pengajaran matematika pada pendidikan dasar, antara lain agar siswa memahami konsep matematika secara luwes, akurat, efisien, tepat, serta memiliki sikap menghargai, rasa ingin tahu, kritis, ulet, dan percaya diri dalam memecahkan masalah (Depdiknas, 2006:8). Berdasarkan hasil observasi awal, ditemukan bahwa siswa kurang memahami materi yang diajarkan guru terutama dalam menyelesaikan soal matematika. Salah satu di antaranya adalah siswa kelas IX SMP Negeri 9 Palu. Dari 32 siswa, hanya 37,5% siswa yang berhasil mencapai tingkat ketuntasan belajar dengan rata-rata nilai 43.
Berdasarkan hasil pengamatan, muncul beberapa gejala pada saat proses belajar, yakni siswa kurang mampu menganalisis dan menyelesaikan soal, kurang keterampilan dalam berpikir dan cenderung suka mencontoh, serta belum mampu berpikir kritis dan sistematis. Akibatnya, siswa tidak mampu menyelesaikan soal yang berbeda dari contoh.
Fenomena tersebut disebabkan oleh sebagian besar siswa hanya mengingat fakta dan kurang memahami konsep yang dipelajari. Setelah berdiskusi dengan rekan peneliti, penulis dapat mengidentifikasi rendahnya hasil belajar matematika pada siswa disebabkan karena pendekatan pembelajaran yang diberikan kurang sesuai, metode pengajaran kurang bervariasi, keterampilan berpikir siswa kurang maksimal, teknik penilaian tidak sesuai sehingga perkembangan kemampuan siswa kurang terukur, pemanfaatan lingkungan/alat peraga kurang memadai, dan rendahnya dukungan belajar dari orang tua dan lingkungan sekitar.
Dengan demikian, apabila masalah di atas tidak segera diatasi, akan munculnya masalah-masalah baru, seperti siswa semakin kesulitan menerima materi pada kelas berikutnya, besarnya peluang tidak lulus setelah ujian sehingga siswa semakin kurang memaknai dan menyenangi pelajaran matematika. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu diterapkan strategi pengajaran yang lebih menarik menggunakan video pembelajaran.
Sumber: Modul Diklat Perencanaan Pendidikan: Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Kemdikbud.
(lus/lus)