Belum lama ini mural menjadi topik yang viral setelah mural wajah Presiden Joko Widodo terpampang di daerah Batuceper, Kota Tangerang. Dalam mural itu terdapat tulisan '404: Not Found' di bagian mata Jokowi.
Secara umum, mural telah dikenal sejak dahulu sebagai salah satu media berekspresi. Melalui perkembangannya, mural di era kontemporer menjadi hal yang tak terpisahkan saat menyebutkan kata kritik di ruang publik.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pusat Studi Industri Kreatif Pasca Sarjana Universitas Airlangga (Unair), Igak Satrya Wibawa menyampaikan mural sudah dikenal menjadi media komunikasi bagi masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mural adalah salah satu bentuk street art, menjadi media komunikasi yang cukup sering digunakan masyarakat dalam menyampaikan pesan, harapan dan kritik kepada pihak yang punya privilege atau kekuasaan tertentu," ungkapnya seperti dikutip detikEdu dari laman resmi Unair (19/8).
Berbeda dengan Graffiti
Mural berbeda dengan graffiti, walaupun sama-sama termasuk seni jalanan. Graffiti menonjolkan ekspresi pelukis secara tersurat, dan kadang sifatnya sangat personal karena hanya berupa tulisan atau simbol yang mewakili entitas tertentu.
"Sedangkan mural yang memiliki makna dan pesan lebih dalam, kebanyakan ditempatkan di ruang publik dengan tujuan dilihat banyak orang," kata pengajar mata kuliah Visual Culture and Creative Arts di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair tersebut.
Mengenai etika dan perizinan mengenai penempatan di ruang publik, Igak menanggapi bahwa hal tersebut dapat dilihat dari beberapa dimensi.
"Jika dikaitkan dengan dimensi etis, tentunya public property idealnya tidak dapat dipakai tanpa adanya izin. Namun ini menjadi paradoks bila dilihat dari dimensi perlawanan, yaitu kasusnya harus menabrak etika, karena namanya juga perlawanan," jelasnya.
Dalam dimensi seni, tambahnya, wajar bila mural dijadikan sebagai simbol perlawanan, kritik ataupun harapan, dan sah saja bila penempatannya dalam ruang publik agar didengar dan dilihat publik.
Menurut Igak menghadapkan seni dan aturan merupakan hal susah karena dalam seni terkadang harus membenturkan keduanya.
Mural Berisi Kritik Sosial
Sementara soal kritik, Igak berpendapat mural berisi kritik sosial sama halnya dengan baliho yang berisi pesan-pesan politis, yakni sama-sama memanfaatkan ruang publik sebagai saluran penyampaian pesan.
"Hanya bedanya, mereka yang official punya kuasa, wewenang dan memiliki privilege tertentu menggunakan baliho. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki privilege dan melihat ruang-ruang penyampaian pendapat banyak tersumbat di sana-sini, akhirnya memilih mural sebagai media yang frontal dan efektif dalam menyampaikan pesan," jelas dosen mata kuliah Industri Kreatif tersebut.
Terlebih pada era digital di mana semua orang bisa mengabarkan semua hal, siapapun yang menjadi sasaran kritik melalui mural perlu memperhatikan tanggapan yang akan diberikan.
Terakhir, dosen FISIP Unair menjelaskan bahwa apapun bisa menjadi sesuatu yang besar bila direspon dengan cara yang salah dan bila ditanggapi secara reaktif maka kemungkinan akan semakin menggaungkan pesan dalam mural.
(faz/pal)