Masyarakat adat memiliki peranan penting dalam pelestarian lingkungan dan hutan. Karena mereka masih sangat dekat dengan kehidupan alam dan terus berupaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Komunitas Konservasi Indonesia Warsi (KKI Warsi) merupakan salah satu lembaga yang sudah memiliki pendampingan kepada masyarakat adat dan masyarakat lokal sejak tahun 1991.
Menurut Rudy Syaf selaku Direktur Eksekutif KKI Warsi mengatakan, "Pada dasarnya masyarakat adat kita masih memiliki nilai-nilai kearifan yang sesuai dengan alam dan berinteraksi dengan alam namun jumlahnya minoritas. Meski kelihatannya pasif, sebenarnya semua kehidupan hidup masyarakat adat terpenuhi secara berkelanjutan."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait hal tersebut, Rudy mengakui meskipun belum mendapatkan pengakuan dari negara. Banyak kelompo masyarakat adat di dalam dan sekitar hutan telah memperlakukan hutan sebagai bagian penting dalam kehidupan baik secara sosial, ekonomi, kultural bahkan religi sesuai dengan kearifan yang diwarisi nenek moyang mereka sejak puluhan tahun yang lalu.
Baca juga: 5 Tempat Berdonasi untuk Selamatkan Bumi |
Dalam menjalankan sistem hukum adat dan kearifan lokal untuk mengelola sumber daya alam. Masyarakat adat memerlukan jaminan dari negara agar mereka dapat menjalankan aktivitas hariannya dengan tenang.
Mengutip dalam rilis KKI Warsi pada (22/04), pihaknya telah membantu beberapa desa adat untuk mendapatkan pengakuan dan jaminan dari pemerintah daerah untuk mengelola hutan. Dua diantaranya adalah Desa Guguk dan Marga Serampas yang ada di Desa Rantau Kermas di Kabupaten Merangin, Jambi.
Desa Guguk berjuang agar hutan adat mereka bisa terus dirawat sebagai sumber konservasi air, sedangkan Desa Rantau Kermas ini terus menjaga hutan adat yang letaknya berdampingan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Perjuangan Desa Guguk untuk mendapatkan jaminan pengelolaan hutan adat baik dari pemerintah lokal dan pemerintah pusat cukup panjang. Awalnya hutan yang sudah dijaga masyarakat tepat berada di belakang desa, dimana kawasan tersebut merupakan sumber air dan habitat satwa yang dihormati oleh warga desa. Ketika tiba-tiba patok Hak Pengusaha Hutan (HPH) hadir di tengah hutan yang mencakup seluruh kawasan hutan yang dijaga masyarakat sehingga ini langsung menjadi perhatian warga.
Dengan adanya hal ini KKI Warsi juga terlibat sebagai mediator konflik antara desa dengan perusahaan pemilik HPH. Para penjaga hutan juga memiliki kecintaan dan peran tulus mereka untuk menjaga alam.
Dari kasus di atas, penting jaminan hukum bagi masyarakat adat untuk melakukan pemanfaatan atas pengelolaan hutan terus menjadi hal yang patut diperjuangkan. Terlebih lagi karena mereka tetap setia dengan perannya yakni dengan menjaga bumi. Sehingga pengakuan negara akan memperkuat masyarakat adat untuk mengelola hutan.
(lus/erd)