Anak-anak di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung, Bali, terlihat begitu antusias saat naik ayunan kayu tradisional. Keceriaan mereka terlihat saat ayunan mulai dimainkan.
Mereka kemudian berteriak kegirangan tatkala ayunan memutar semakin kencang. Bapak-bapak yang bertugas memutar tiang baling-baling di sisi kiri dan kanan juga begitu semangat.
"Tadi agak takut. Tapi pas mulai, sudah naik itu seru. Seperti main rollercoaster. Pas diayun keras. Naik turunnya itu keras tapi seru," ungkap Gede Andika (12) salah satu anak yang bermain ayunan, Rabu (4/1/2023).
Ayunan kayu tradisional ini salah satu media hiburan lawas yang masih dipertahankan hingga kini. Ayunan ini dapat dijumpai di Banjar Adat Kerobokan, Desa Munggu, Badung khusus saat Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Mainan ini baru dibuka pukul 18.00 Wita sampai malam. Ayunan kayu ini hanya bisa dinaiki delapan orang anak.
Tiang baling-baling diputar dengan bantuan tenaga orang dewasa yang secara bergilir berdiri di atas tiang pancang. Menariknya, semua komponen ayunan masih menggunakan bahan tradisional.
Bahkan durasi bermain pun diatur dengan timer tradisional, memakai batok kelapa yang diisi air. Pada ujung batok kelapa telah dilubangi. Jika airnya habis, maka durasi bermain pun selesai. Durasinya sekitar 3 menit.
Tokoh adat Banjar Kerobokan Made Suada menjelaskan, ayunan kayu tersebut sudah ada sejak 1930-an, berdasarkan cerita para tetua di desa setempat. Pada mulanya, ayunan ini dimainkan berpindah-pindah di kawasan desa oleh kelompok ayunan.
Singkat cerita, ayunan itu diserahkan kepada warga Banjar Kerobokan karena memiliki tempat yang luas dan dekat dengan Pura Desa dan Puseh Desa Munggu. Apalagi kegiatan saat Galungan berpusat di pura desa dan sekitarnya.
Ia mengaku dudukan ayunan hingga tiang-tiangnya masih memakai yang asli. Bahkan atapnya dahulu memakai alang-alang. Perbaikan baru dilakukan sekali pada tiang pancang agar tetap kuat.
"Kami biasanya membunyikan kulkul (kentongan) di balai banjar. Tanda bahwa ayunan sudah dibuka. Karena momen liburan, sudah pasti ramai. Yang banyak berminat itu anak-anak. Mereka senang karena bisa coba mainan lawas," ungkap Suada.
Ayunan kayu tradisional ini tidak hanya diminati warga Desa Munggu, ada juga yang datang dari desa tetangga. Seperti Canggu, Cemagi, Buduk, Pererenan, hingga luar kabupaten.
Menurut Suada, ayunan kayu ini tetap dimainkan hingga kini sebagai upaya pelestarian budaya. Salah seorang pengunjung asal Negara, Jembrana, Kadek Kristiani (35) mengaku datang ke Badung untuk berlibur.
Ia sengaja mengajak anak-anaknya bermain ayunan tradisional di Munggu agar mendapat kesan bermain permainan tradisional. "Ini pertama kali sih. Kebetulan ke Denpasar liburan. Saya ajak mampir ke Munggu karena ada ayunan lawas ya. Seru aja rasanya bisa rasain mainan tradisional," tutur Kristiani.
Ada Prosesi Khusus Sebelum Ayunan Dimainkan
Made Suada mengakui, ada prosesi upacara khusus sebelum ayunan kayu dimainkan. Upacara berupa malaspas dilakukan saat ayunan dirakit, beberapa hari jelang Galungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan tokoh adat juga melakukan persembahyangan di Pura Desa memohon agar permainan berjalan lancar.
"Ayunan ini memang tidak dipasang terus. Kami bongkar pasang dudukannya. Kalau tiang yang besar-besar tidak kami lepas. Itu permanen. Ya kami berharap tidak ada masalah saat ayunan dimainkan," pungkas Suada.
(nor/gsp)