Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), menangani 53 kasus dugaan pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Tidak ada satupun yang naik ke tahap tindak pidana pemilu (tipilu) dari puluhan kasus yang ditangani.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kabupaten Bima, Taufiqurrahman, mengatakan 53 kasus yang ditangani adalah sebelum dan sesudah tahapan masa kampanye Pilbup Bima. Kasus-kasus itu berdasarkan laporan masyarakat serta hasil temuan Bawaslu dan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam).
"14 kasus yang dilaporkan masyarakat serta 39 kasus hasil temuan Bawaslu dan Panwascam," kata pria yang akrab disapa Opik ini kepada detikBali, Rabu (13/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Opik mengungkapkan 53 kasus yang tangani melibatkan sebanyak 97 aparatur sipil negara (ASN), kepala desa (kades), dan perangkat desa. Rincian jelasnya, yakni sebanyak 73 ASN, 5 kades, dan 19 perangkat desa.
Sebelum tahapan massa kampanye, Opik melanjutkan, ASN yang melanggar netralitas sebanyak 53 orang, kades 2 orang, dan perangkat desa 3 orang. Sementara pada saat masa kampanye, ada 20 ASN, 4 kades dan 16 perangkat desa.
"Semuanya diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, sejauh ini semua kasus yang ditangani belum ada yang naik tipilu," ungkap Opik.
Ia menyebutkan salah satu kasus yang tak naik ke tahap Tipilu yakni kasus dugaan money politik yang melibatkan Kades Roi, Kecamatan Palibelo, berinisial A. Kasus A yang diduga membagikan amplop berisi uang Rp 100 ribu berstiker cagub-cawagub Iqbal-Dinda serta paslon cabup-cawabup Bima, Yandi-Ros tak cukup bukti.
"Meski tidak ada satupun kasus yang naik tipilu, tetapi Bawaslu tetap mengeluarkan rekomendasi agar diberikan sanksi etik dan administrasi, karena melanggar undang-undang dan peraturan lainnya," tutur Opik.
Opik menambahkan, dalam menangani kasus dugaan pelanggaran pilkada, Bawaslu Kabupaten Bima terlebih dahulu akan melakukan pendalaman dan pengkajian, termasuk memilah kasusnya masuk unsur tipilu atau pelanggaran administrasi dan etik.
"Kami juga akan membahas bersama dengan polisi dan jaksa yang tergabung dalam Sentra Penegakan hukum terpadu (Gakkumdu). Kalau tak memenuhi unsur, syarat, dan tak cukup bukti, kasusnya dihentikan," jelas Opik.
(iws/iws)