Fitra NTB Sorot Ratusan Miliar DBH Tambang-Cukai Tembakau Tak Tepat Sasaran

Ahmad Viqi - detikBali
Rabu, 05 Nov 2025 20:04 WIB
Foto: Diskusi publik yang diadakan BEM Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram, Rabu (5/11/2025) di Mataram. (Ahmad Viqi/detikBali)
Mataram -

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyoroti pengalokasian dana bagi hasil (DBH) tambang dan cukai hasil tembakau mencapai ratusan miliar di NTB yang tidak tepat sasaran. Fitra menyayangkan DBH tidak pernah menyentuh program untuk menekan angka kemiskinan dan angka putus sekolah di NTB.

Direktur Fitra NTB Ramli Ernanda mengatakan sebagian besar dana yang seharusnya menjadi napas bagi petani, nelayan, dan masyarakat kecil justru berbelok arah ke program-program yang jauh dari peruntukan idealnya.


Ramli mengatakan total DBH Pajak Provinsi NTB tahun 2025 mencapai Rp 740,4 miliar, dengan komposisi Pajak Penghasilan (PPH) Rp 77 miliar, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp 52 miliar, serta Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) sebesar Rp 610 miliar.

Namun, alokasi dana yang besar itu justru lebih banyak mengalir ke pos-pos yang tidak sesuai dengan aturan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBH-CHT.

"Sekitar 31,2 persen atau Rp 50,9 miliar dari DBH-CHT digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi embung oleh Dinas PUPR," kata Ramli dalam diskusi publik bertajuk Vox Populi yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram pada Rabu (5/11/2025).

Selain itu 10,7 persen atau Rp 17,46 miliar DBH yang bersumber dari pajak tambang dan tembakau itu digunakan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan. Padahal dana ini bukan untuk proyek fisik, melainkan peningkatan kesejahteraan petani tembakau.

Berdasarkan UU, Ramli berujar, DBH-CHT sejatinya didesain untuk mendukung kesejahteraan petani tembakau, peningkatan kualitas bahan baku, diversifikasi tanaman, serta peningkatan kesehatan masyarakat akibat dampak konsumsi rokok. Tetapi, di NTB, arah penggunaan dana ini tampak kabur.

Fitra NTB mencatat sejumlah belanja tidak sesuai pada alokasi APBD NTB tahun 2025 seperti perjalanan dinas senilai Rp 3,06 miliar, honorarium Rp 687 juta, dan belanja alat tulis kantor (ATK) sebesar Rp 465 juta.

Lebih parah lagi, ada sekitar Rp 4,9 miliar atau 3 persen dari total DBH-CHT sama sekali tidak terlacak penggunaannya dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) 2025.

"Dana itu seharusnya untuk masyarakat, bukan untuk gaji pegawai atau urusan administrasi kantor. Gaji pegawai bisa diambil dari pendapatan asli daerah (PAD), sedangkan DBH harus langsung dirasakan oleh rakyat," tegasnya.

Lebih lanjut, Ramli menyebut bahwa porsi terbesar justru diterima oleh sektor lain yang tidak langsung menyentuh petani. Sektor kesehatan menerima 49,6 persen atau Rp 80,78 miliar, sementara program kesejahteraan masyarakat nonbantuan menghabiskan 42,3 persen atau Rp 68,97 miliar.

Ramli menegaskan bahwa jika seluruh dana bagi hasil, termasuk DBHCHT, pajak, dan tambang yang totalnya hampir Rp 2 triliun di setiap pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah Provinsi NTB digunakan dengan benar, maka banyak persoalan pembangunan di NTB bisa selesai.

"Kita mulai dari hal-hal kecil. Jangan lagi DBH-CHT dipakai untuk beli perahu atau pelatihan-pelatihan seremonial. Gunakan untuk membantu petani, memperbaiki lingkungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat," katanya.



Simak Video "Video: Orang Miskin di Jatim Terbanyak, Tapi Pertumbuhan Ekonominya Naik"


(hsa/nor)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork