Wamendiktisaintek Sebut Kampus Harus Jadi Problem Solver

Kupang

Wamendiktisaintek Sebut Kampus Harus Jadi Problem Solver

Simon Selly - detikBali
Selasa, 30 Sep 2025 21:29 WIB
Wamendiktisaintek Fauzan bersama Gubernur NTT Melki Laka Lena dan Kepala LLDIKTI Wilayah XV, Adrianus Amheka, saat memberikan keterangan di Hotel Aston Kupang, Selasa (30/9/2025).
Wamendiktisaintek Fauzan bersama Gubernur NTT Melki Laka Lena dan Kepala LLDIKTI Wilayah XV, Adrianus Amheka, saat memberikan keterangan di Hotel Aston Kupang, Selasa (30/9/2025). (Foto: Simon Selly/detikBali)
Kupang -

Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah XV Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar rapat kerja pimpinan perguruan tinggi kementerian/lembaga se-NTT, Selasa (30/9/2025).

Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Diktisaintek), Fauzan.

Dalam sambutannya, Fauzan menegaskan perguruan tinggi tidak boleh berhenti pada urusan internal, melainkan harus memberi dampak nyata bagi masyarakat NTT.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita baru saja menyaksikan penandatanganan kesepakatan bersama, ini gaya baru, kerja dulu baru sepakat. Komitmen ini bukan sekadar tanda tangan, melainkan wujud nyata bagaimana perguruan tinggi hadir sebagai problem solver, bukan bagian dari masalah," kata Fauzan.

ADVERTISEMENT

Ia menyebut konsep Pendidikan Tinggi Berdampak merupakan refleksi dari nilai luhur Pancasila dan ajaran agama yang menekankan kebermanfaatan. Perguruan tinggi, menurutnya, harus menjadi motor penggerak gerakan sosial, ekonomi, dan budaya yang memberi manfaat luas.

"Kebermanfaatan perguruan tinggi di suatu daerah diukur dari seberapa besar kontribusinya terhadap persoalan nyata di masyarakat. Kampus tidak boleh hanya menghasilkan lulusan unggul, tetapi juga menjadi jawaban atas problem kemiskinan, pengangguran, dan persoalan sosial lainnya," jelasnya.

Pentingnya Kolaborasi dan Riset Konsorsium

Fauzan juga menekankan pentingnya riset berbasis konsorsium yang melibatkan perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan dunia usaha.

"Program ini sebenarnya tidak hanya berlaku di NTT, tetapi juga bisa menjadi model nasional. Kalau kita ingin maju, kuncinya adalah bergerak bersama. NTT memiliki potensi besar, tinggal bagaimana kita mengonsolidasikan langkah dan pikiran untuk mengubahnya menjadi kekuatan nyata," ujarnya.

Ia menyebut ada rencana mendeklarasikan keberhasilan konsorsium perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan mitra pembangunan di tingkat nasional.

"Suatu saat nanti, di Jakarta akan ada satu event besar yang memperlihatkan prestasi konsorsium ini. Jika NTT bisa, mengapa daerah lain tidak? Itu akan menjadi contoh baik bagi Indonesia," kata Fauzan.

Gubernur NTT Tekankan Pentingnya SDM

Sementara itu, Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena menegaskan kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan investasi fundamental untuk menyongsong visi Indonesia Emas 2045.

"Provinsi NTT saat ini berada pada persimpangan sejarah pembangunan. Kita menghadapi tantangan serius seperti tingginya prevalensi stunting, angka kemiskinan ekstrem, IPM yang masih rendah, hingga kualitas pendidikan yang menempatkan NTT di peringkat 35 dari 38 provinsi," ujarnya.

Meski begitu, Melki tetap optimistis. Ia menekankan bahwa sejarah negara maju menunjukkan kunci keberhasilan bukan pada sumber daya alam, melainkan SDM.

"Negara boleh tidak punya sumber daya alam, tetapi jika memiliki SDM yang tangguh, maka ia bisa menguasai dunia. Karena itu, SDM adalah kunci, bukan SDA," kata politikus Golkar ini.

Ia menegaskan perguruan tinggi menjadi titik sentral dalam pembangunan SDM unggul di NTT. Pemerintah daerah berperan mengarahkan kebijakan makro lewat APBD maupun APBN, sementara kampus mencetak generasi berkualitas.

"Perguruan tinggi adalah mitra strategis pemerintah. Kami membutuhkan kerja bersama yang luar biasa agar SDM NTT bisa sejajar dengan provinsi lain dan berkontribusi nyata bagi Indonesia," kata Melki.

Melki juga menyinggung persoalan data pembangunan yang kerap tidak sinkron.

"Contohnya perbedaan signifikan data stunting versi survei nasional (37%) dengan data by name by address yang hanya sekitar 16-17%. Perbedaan angka ini sangat tajam dan berdampak pada arah kebijakan," jelasnya.

Hal serupa terjadi pada data kemiskinan. Menurut Melki, masih ada warga miskin yang tidak terdata, sementara yang tidak miskin justru masuk daftar penerima bantuan.

"Ini masalah serius yang juga berpotensi menimbulkan penyimpangan," katanya.

Karena itu, ia mendorong perguruan tinggi di NTT menghasilkan basis data yang valid, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan.

"Kalau data bisa kita perbaiki, separuh masalah NTT sudah bisa kita atasi. Kampus harus hadir memberi solusi, bukan hanya teori, tetapi berdampak langsung bagi masyarakat. Dengan kebersamaan, kerja keras, dan kolaborasi, saya yakin NTT akan bangkit," urai Melki.

Data Perguruan Tinggi di NTT

Kepala LLDIKTI Wilayah XV Adrianus Amheka menambahkan pentingnya kolaborasi antarperguruan tinggi untuk mempercepat peningkatan kualitas pendidikan tinggi di NTT.

"Kupang ini kota aman, sehat, indah, dan harmonis. Panas, tetapi juga menghangatkan semangat kita untuk terus meyakinkan bahwa mutu pendidikan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat," kata Adrianus.

Ia merinci hingga September 2025 terdapat 57 perguruan tinggi swasta (PTS) dan 8 perguruan tinggi negeri kementerian/lembaga (PTN-K/L) di wilayah LLDIKTI XV.

"Dari jumlah tersebut, tercatat 93.282 mahasiswa aktif dengan dukungan 3.127 dosen aktif. Dari sisi kualifikasi, 2.018 dosen bergelar doktor dan terdapat 12 guru besar, sementara total dosen fungsional mencapai 1.029 orang," paparnya.

Menurut Adrianus, angka akreditasi perguruan tinggi di NTT sudah mencapai 97%. Dari 57 PTS, hanya dua yang masih dalam proses penyesuaian.

"Sementara itu, dari 325 program studi yang tercatat, sebagian besar telah terakreditasi dengan predikat Baik hingga Baik Sekali, meski target jangka panjang adalah peningkatan jumlah prodi berakreditasi unggul," jelasnya.

Ia juga menyebut jumlah dosen tersertifikasi meningkat pesat. Jika pada 2021 baru 10,6 persen, kini di 2025 sudah mencapai 38,6 persen.

"Kami berharap dalam dua tahun ke depan minimal 50 persen dosen di NTT sudah tersertifikasi. Ini penting untuk memperkuat kualitas pembelajaran," tegas Adrianus.




(dpw/dpw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads