Seminari San Dominggo Hokeng merupakan salah satu sekolah tertua dan berpengaruh di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Seminari San Dominggo Hokeng atau biasa disingkat Sesado berdiri pada 15 Agustus 1950, atau lima tahun setelah Indonesia merdeka.
Sekolah ini merupakan salah satu sekolah calon pastor atau calon imam Katolik. Namun, tidak semua siswa lulusan lembaga ini jadi pastor. Mereka juga banyak yang bekerja di berbagai bidang sosial kemasyarakatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memasuki usianya ke-75 tahun ini, Seminari Hokeng harus bermigrasi ke kota Larantuka, sekitar 40 kilometer dari pusat sekolah sebelumya. Sekolah mengalami kerusakan parah imbas erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki yang terakhir kali meletus pada Jumat (1/8/2025).
Kepala Sekolah SMA Seminari San Dominggo Hokeng, Romo Alexander Boli Losor, mengungkapkan sekolah yang dibuka pada 1950 itu awalnya memiliki tujuh kelas. Terbagi atas tiga kelas untuk tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan empat kelas sekolah menengah atas (SMA).
Namun, Alexander berujar, kini tinggal SMA saja. Puluhan bangunan sekolah hingga fasiltas lainnya rusak.
"Atap bocor semua, puluhan lokal mulai dari biara, asrama, aula, kapela, kamar makan, dapur, bengkel, lapangan bola, dan sebagainya," kata Alexander yang biasa disebut Sandro Losor kepada detikBali, Minggu (3/7/2025) di Larantuka.
Sandro Losor mengungkapkan sekarang bangunan sekolah dan asrama Seminari Hokeng seluas kurang lebih 50 hektare itu ditinggalkan kosong tanpa penghuni karena berada di radius 4-5 kilometer dari puncak Gunung Lewotobi Laki-Laki. Wilayah sekolah masuk dalam daerah Kajian Risiko Bencana (KRB) yang ditetapkan oleh pemerintah.
"Seminari ini sudah memproduksi ribuan imam Katolik dan awam yang berkiprah di Indonesia dan luar negeri," imbuhnya.
Sandro mengatakan SMA Seminari San Dominggo Hokeng kini memiliki 40 guru pegawai sebagai tenaga pengajar, 7 imam Katolik, dan 4 frater (calon imam) serta puluhan karyawan. Meski berpindah lokasi di Sandominggo, Kelurahan Larantuka, Seminari Hokeng berupaya bangkit dengan memanfaatkan asrama dan fasilitas pendukung lainnya.
Salah satu alumnus Seminari Hokeng, Erich Langobelen, menyebut perpindahan lokasi dan lingkungan Seminari Hokeng akibat letusan Gunung Lewotobi Laki-laki setidaknya berdampak pada iklim belajar.
"Justru yang paling penting dan signifikan adalah kurikulum dan strategi pembelajaran yang sungguh-sungguh terukur, melibatkan tenaga pengajar yang kompeten, kritis, kreatif dan terupdate, tanpa intervensi berlebih dari hirarki atau unsur kuasa politis sejenis," ujarnya kepada detikBali via aplikasi pesan WhatsApp, Minggu.
Dosen Atma Jaya Jakarta ini berharap indeks prestasi 10 tahun terakhir harus mampu jauh melampaui indeks prestasi sekolah-sekolah lain yang relatif ada di tengah keramaian kota atau juga sekurang-kurangnya mesti sejajar dengan seminari lain.
"Karena itu, bagi saya Seminari mesti berbesar hati melihat kembali napak tilasnya dan terutama berani jujur bahwa dalam satu dan lain cara masih banyak strategi pembelajaran yang tidak maksimal diterapkan," tandasnya.
Untuk diketahui, Seminari San Dominggo Hokeng diprakarsai oleh PG Van Velzen, SVD (Vicaris General Ende) dan PA Van den Burg, SVD (Deken Larantuka).
Pendiriannya diresmikan pada tanggal 15 Agustus 1950 oleh PH Van Eijck, SVD (Rektor pertama) dan PA Visser, SVD bersama 30 siswa perdana dalam perayaan misa suci di Gereja Lama PT Lerolara Hokeng.
Seminari Hokeng melahirkan sejumlah tokoh. Antara lain, cendekiawan san kritikus Sastra Indonesia Dr. Ignas Kleden, akademisi dan pakar bahasa Dr. Goris Keraf, Uskup Agung Ende Dr. Paulus Budi Kleden SVD, hingga staf penasihat pada Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue, PCID) di Vatikan Pater Markus Solo Kwuta SVD.
Simak Video "Video: Cerita Warga saat Gunung Lewotobi Meletus Lagi"
[Gambas:Video 20detik]
(hsa/hsa)