Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur (NTT), Maria Caecilia Stevi Harman, mengungkapkan banyak peserta BPJS Kesehatan penerima bantuan iuran (PBI) tiba-tiba tak lagi aktif kepesertaannya. Penyebabnya, adanya integrasi data ke Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Sebelumnya warga miskin terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Akibatnya, warga miskin tak bisa lagi menggunakan kartu BPJS Kesehatan untuk akses layanan kesehatan. Adapun, peserta BPJS PBI adalah warga miskin yang iurannya ditanggung pemerintah.
"Saya keliling banyak sekali yang protes ke saya, mengapa BPJS PBI itu tiba-tiba sudah tidak bisa digunakan, tidak aktif," ungkap Stevi seusai membuka pelatihan fotografi dan videografi di Melo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Minggu (20/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Stevi adalah anggota Komite 3 DPD RI. Komite tersebut membidangi urusan kesehatan, pendidikan, agama, kebudayaan, pariwisata, pemuda dan olahraga, kesejahteraan sosial, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak.
Stevi mengatakan keluhan masyarakat itu menjadi atensinya dalam revisi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial yang saat ini prosesnya sudah melewati tahapan harmonisasi.
Stevi mengatakan dulu pemerintah memang sengaja menonaktifkan kepesertaan BPJS PBI bagi warga yang tidak pernah menggunakan BPJS tersebut. Namun, kepesertaan mereka bisa diaktifkan lagi ketika membutuhkan layanan kesehatan setelah kriterianya sesuai. Kondisinya berbeda dengan sekarang.
"Kalau dulu pemerintah memang sengaja, yang tidak aktif biasanya itu dia tidak terpakai, otomatis tidak aktif, karena itu dibayarkan oleh anggaran pemerintah. Nanti ketika mereka berobat dan kriterianya memang cocok harusnya PBI itu bisa diaktifkan kembali. Nah begitulah kalau dulu," terang anak anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat, Beni Kabur Harman, itu.
"Sekarang lebih banyak lagi BPJS PBI itu yang terlempar karena sekarang pemerintahan Pak Prabowo ini sedang mau mengintegrasikan data. Dulunya dari data terpadu (DTKS) sekarang ini beda, dia jadi DTSEN. Dari DTSEN ini lebih banyak lagi yang mungkin tidak terakomodasi," lanjut dia.
Stevi mengatakan banyak warga terlempar dari kepesertaan BPJS PBI bukan karena adanya persyaratan baru dalam DTSEN. Namun, karena proses integrasi datanya yang tidak sesuai kondisi di lapangan.
"Sebenarnya tidak ada (persyaratan baru dalam DTSEN) tapi itu adalah perpaduan antara banyak data. Banyak data itu kadang-kadang tidak pas dengan keadaan di lapangan sehingga banyak yang terlempar, itu laporan dari daerah lain," jelas Stevi.
"Pada reses kali ini saya mau lihat kalau di daerah kita ini di NTT apakah benar lebih banyak lagi komentar, khususnya dari Dinas karena Dinas pasti tahu banyak yang lapor ke mereka. Apakah benar banyak yang terlempar," lanjut dia.
Stevi mengatakan jika semakin banyak warga miskin yang terlempar dari kepesertaan BPJS PBI, maka pemerintah perlu menyikapinya.
"Kalau benar terlempar ini bagaimana pemerintah mempertanggungjawabkan perpaduan data ini. Juga bagaimana cara masyarakat bisa melapor kalau mereka sebenarnya berhak," urai dia.
Stevi juga menerima keluhan masyarakat terkait proses yang rumit untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit bagi peserta BPJS yang mengalami kecelakaan lalu lintas (lakalantas). Sebab, prosesnya harus ke Jasa Raharja dulu untuk klaim biaya pengobatan korban lakalantas.
Dalam revisi UU Jamin Sosial Nasional itu, Stevi berujar, perlu dipadukan sistem di BPJS dengan Jasa Raharja.
"Kita juga ingin memadukan, selama ini banyak masyarakat protes kenapa kalau masuk Rumah Sakit karena kecelakaan, prosesnya lebih susah, harus ke Jasa Raharja," ujar Stevi.
"Kita mau lihat bagaimana kita mengharmonisasikan badan-badan, lembaga yang mengurus ini BPJS, Jasa Raharja. Bagaimana kita memadukan administrasi supaya masyarakat tidak sulit mengeklaim asuransi yang seharusnya menjadi hak mereka untuk mendapatkan," tandas Stevi.
(hsa/hsa)