Perempuan-perempuan dari Tanah Mbawa

Rafiin - detikBali
Minggu, 20 Apr 2025 07:00 WIB
Foto: Kegiatan menenun perempuan Mbawa, beberapa waktu lalu. (Rafiin/detikBali)
Bima -

Peran kepala keluarga tak selalu dimiliki oleh laki-laki. Paling tidak, ini yang terjadi di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Memasuki musim hujan yang menjadi tanda dimulainya musim tanam seperti saat ini, perempuan Desa Mbawa akan menjadi kepala keluarga.

Mereka tidak hanya mengurus keluarga dan menenun seperti biasa, tetapi juga mencari nafkah berjualan tenunan dan hasil kebun, menggantikan para suami yang sedang menginap di ladang jagung dan padi. Ini sudah dilakukan sejak turun-temurun dan dari generasi ke generasi.

Desa yang berada di bukit Gunung Leme Donggo ini dikenal sebagai desa yang paling aman, kondusif, dan jauh dari konflik di Bima. Warganya sangat rukun dan harmonis. Padahal, warga di sana menganut tiga keyakinan yang berbeda yakni, Islam, Katolik, dan Kristen Protestan.

Berdasarkan data terakhir, jumlah penduduk Desa Mbawa sebanyak 4.771 jiwa yang terdiri dari 1.201 KK. Mereka tersebar di 10 dusun. Islam menjadi agama terbesar dengan jumlah pemeluk 3.733 jiwa. Perinciannya, 1.871 laki-laki dan 1.862 perempuan.

Kemudian, ada 942 warga menganut Katolik dengan perincian 492 laki-laki dan 50 perempuan. Sisanya, 96 penduduk beragama Kristen Protestan. Terdiri dari 42 laki-laki dan 53 perempuan.

Marta Hajnah (56 Tahun), penjaga Uma Leme. Foto: Rafiin/detikBali

Sejauh ini, harus diakui konflik-konflik horizontal dan vertikal masih lekat dengan Bima. Perang antarkampung hingga aksi blokade jalan sebagai bentuk perlawanan acapkali terjadi. Kerasnya kehidupan dan konflik komunal itu menyebabkan Bima distigma sebagai "zona merah".

Namun, Desa Mbawa adalah sebuah paradoks. Masalah agama yang jadi pembatas harmonisasi masyarakat, tidak lantas membuat warga Desa Mbawa berkonflik.

Namun, hal itu bukan sesuatu yang aneh. Solidaritas dan budaya gotong royong yang kental menyebabkan warga saling membantu satu sama lain, meski berbeda latar belakang keturunan, keyakinan, hingga status sosial. Hal ini terjadi juga di kalangan perempuan di sana. Perempuan-perempuan tanah Mbawa merupakan penjaga perdamaian. Mereka punya andil besar dalam pengambilan keputusan di desa kecil itu.

Satu dari Prempuan Mbawa adalah Marta Hajnah. Perempuan berusia 56 tahun ini adalah panutan bagi perempuan Mbawa. Marta merupakan istri dari Yosep Ome (58), generasi ketujuh dari Ncuhi atau Kepala Suku Adat Mbawa.

Menurut Marta, rukun dan harmonisnya warga Desa Mbawa di tengah perbedaan keyakinan bukanlah hal baru. Akan tetapi, sudah berlangsung lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Kerukunan dan harmonisasi warga mulai dari dari rumah ke rumah hingga meluas ke dusun-dusun.

"Solidaritas, kebersamaan, dan budaya gotong royong di sini cukup kuat. Hal ini sudah berlangsung lama dan diwariskan dari generasi ke generasi," kata Marta ditemui di kediamannya, di Dusun Kambentu, Desa Mbawa, beberapa waktu lalu.

Bagi Marta, warga Mbawa tidak memiliki jarak meski berbeda keyakinan. Silaturahmi atau bertamu ke rumah tetangga yang berbeda keyakinan adalah hal biasa yang dilakukan secara rutin. Mereka saling berbaur apa adanya, tidak pernah memandang status sosial dan keyakinan.

"Setiap ada acara hajatan, dan kegiatan sosial kemasyarakatan, warga biasanya saling patungan. Kadang membawa beras, daging, hingga uang. Tidak ada yang membedakan, bahkan sudah menjadi kebiasaan warga di sana, saling bersilaturahmi, untuk saling menemui satu sama lain," ucapnya.

Wa'i Jana, sapaan akrab Marta, mengungkapkan rahasia dan kunci rukun dan harmonisnya warga Desa Mbawa, yakni saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Bahkan, ada yang lebih 'ekstrem.' Perpindahan keyakinan bukan hal tabu. Seorang anak yang ingin keluar dari agama dan memilih menganut agama lain karena faktor pernikahan tidak dimarahi.

"Setiap ada persoalan dan masalah tidak berkutat kepada pemuka agama, dan pemerintah. Karena di sini ada tetuanya sendiri yang menyelesaikan," ungkap Marta.

Ia ingin agar hal itu terus diwariskan kepada generasi muda. Bersama ibu-ibu lainnya, dia sempat membentuk komunitas. Sayangnya, perkumpulan itu jalan di tempat hingga akhirnya bubar di tengah jalan karena minimnya keterlibatan kaum muda.

"Perhatian pemerintah juga minim. Padahal di sini kita punya potensi, salah satunya menenun. Namun, tidak maksimal lantaran tidak ada kegiatan berkelanjutan," ujarnya.

Peran perempuan Mbawa di halaman selanjutnya




(hsa/gsp)

Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Foto