Warga Geruduk Kantor DPRD Lombok Tengah, Desak Revisi Perda Sempadan Pantai

Warga Geruduk Kantor DPRD Lombok Tengah, Desak Revisi Perda Sempadan Pantai

Edi Suryansyah - detikBali
Senin, 14 Okt 2024 13:21 WIB
Ratusan warga pesisir pantai selatan menggeruduk kantor DPRD Lombok Tengah pada Senin (14/10/2024). (Foto: Edi Suryansyah/detikBali)
Ratusan warga pesisir pantai selatan menggeruduk kantor DPRD Lombok Tengah pada Senin (14/10/2024). (Foto: Edi Suryansyah/detikBali)
Lombok Tengah -

Ratusan warga pesisir pantai selatan menggeruduk kantor DPRD Lombok Tengah pada Senin (14/10/2024). Mereka mendesak anggota dewan dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Tengah untuk segera merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Batas Sempadan Pantai.

Warga menilai perda tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 hingga Peraturan Presiden (PP) Nomor 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. "Karena itu cacat hukum karena bertentangan dengan aturan di atasnya," kata perwakilan warga, Supardi Yusuf.

Menurut Supardi, Perda Nomor 7 tahun 2011 menyebutkan batas sempadan pantai adalah 35 meter dari bibir laut. Sementara itu, PP Nomor 51 Tahun 2016 mengatur batas sempadan pantai adalah 100 meter.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dampak tumpang tindih aturan tersebut, Supardi berujar, investor yang merasa memiliki sempadan pantai itu berlaku semena-mena kepada warga. Menurutnya, tak sedikit dari warga yang mendapatkan perlakuan yang tak mengenakkan.

"Mereka mengusir masyarakat, mengintimidasi dengan cara mengundang preman untuk mengusir masyarakat. Itu terjadi di beberapa tempat, seperti di Are Guling dan Pantai Bumbung," imbuhnya.

Supardi menyebutkan sejumlah pantai di Lombok Tengah saat ini banyak diributkan oleh masyarakat. Seperti Pantai Bumbang, Are Guling, Dondon, Kuta, Tomang-omang, Mawun, dan Selong Blanak.

"Sempadan pantai ini diindikasikan sudah diperjualbelikan kepada investor. Bahkan ada yang sudah SHM (surat hak milik)," imbuhnya.

Ia meminta Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Lombok Tengah untuk membatalkan sertifikat tersebut. Ia menilai hal itu sebagai bentuk pelanggaran hukum oleh pemerintah.

Selain itu, warga juga meminta pemerintah untuk mengizinkan masyarakat Rowok dan Semeti Desa Mekarsari, Kecamatan Praya Barat, untuk menggarap kembali tanahnya. Lahan mereka terindikasi diambil paksa oleh perusahaan dan pemerintah pada 1990.

"Karena sampai saat ini masyarakat Rowok tidak mempunyai tempat. Dulu mereka diusir dari tanahnya dan dipaksa keluar," pungkasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Lombok Tengah Lalu Sarjana yang menemui warga belum bisa berkomentar banyak. Ia menjelaskan saat ini pihaknya masih fokus pada penyusunan alat kelengkapan dewan (AKD).

"Sehingga, Komisi III yang seyogyanya membidangi hal ini belum ada. Jadi kami minta warga untuk bersabar sampai hari Rabu setelah AKD ini terbentuk," ujar Sarjana.




(iws/iws)

Hide Ads